Page 3 - KLIPINGBPPT22042019(pagi)
P. 3
Makin banyak monomer yang digabung, maka plastik yang dihasilkan akan makin kuat dan padat. Sebagai gambaran, agar kuat sebagai wadah, proses polimerisasi harus diulang sampai 10.000 kali. “Inilah yang menjadikan berat molekulnya besar sekali dan sulit dimakan bakteri,” tambah Erny. Di balik sorotan terhadap sampah plastik yang mencemari bumi, sebenarnya industri plastik adalah industri yang paling rendah energi. Pengolahan plastik sangat rendah energi, hanya sekitar 3,1 KWH dibandingkan pengolahan industri logam (13,9 KWH), kaca, gelas, bahkan kertas. Inilah mengapa plastik disukai dan diproduksi besar- besaran oleh industri.
“Masalah terkait penggunaan plastik sebenarnya bukan pada material, tetapi cara memperlakukan plastik hingga ia berakhir di laut,” jelas Erny.
Rendahnya Kelola Sampah Ketua Indonesia Solid Waste Association (InSWA), Sri Bebassari mengatakan, budaya membuang sampah di Indonesia masih memprihatinkan. “Kita baru memiliki undang-undang pengelolaan sampah tahun 2008, bandingkan dengan Jepang yang sudah memilikinya sejak 100 tahun lalu, dan Singapura 40 tahun lalu,” jelas Sri.
Insenerataor (pengelolaah sampah untuk pembangkit listrik tenaga sampah) yang akan dikembangkan di TPA Bantargebang, menurut Erny, masih jauh dari kapasitas yang dibutuhkan. Maka aspek teknologi ini harus dikembangkan mulai hulu hingga hilir. Caranya memperbanyak TPSA (tempat pembuangan sampah sementara) yang dikelola secara modern.
Permasalahan sampah plastik yang kompleks, membuat akhirnya muncul kampanye untuk mulai mengurangi penggunaan plastik. Mungkinkah?
“Apakah kita harus mundur lagi ke belakang dengan kembali menggunakan logam, kayu, atau kertas? Ingat, kertas juga tidak ramah lingkungan karena sama saja menebang banyak pohon. Yang harus kita lakukan adalah bijak menggunakan plastik dengan menerapkan apa yang sudah kita hapalkan bersama, yaitu reduce, reuse, dan recycle,” jelas Erny.
Keunggulan plastik bagaimanapun sulit tergantikan, setidaknya sampai ada material yang bisa menggantikannya. Memang ada beberapa peneliti muda Tanah Air yang mencoba menemukan alternatif pengganti plastik. Sayangnya, menurut Erny, produk-produk alternatif pengganti plastik belum diserap industri dalam skala besar. “Sebagian bahkan menimbulkan isu baru yaitu mikroplastik, yaitu komponen plastik yang mudah terurai dan mencemari tanah,” jelasnya.
Kevin Kumala, pendiri Avani Eco, salah satu produsen plastik biodegradable, sependapat. Menurutnya, produk pengganti plastik tidak akan menyelesaikan masalah. Selain pasar terbatas, harga plastik biodegradable ini jauh lebih mahal dari plastik pada umumnya.
“Makanya diperlukan kolaborasi massal untuk menyelesaikan masalah plastik ini. Kami hanya berusaha mencari solusi yaitu menambahkan slogan reduce, reuse, dan recycle dengan replace. Replace akan menjadi amunisi baru untuk dapat menyelesaikan limbah plastik,” jelas Kevin.
Menurut Kevin, sekecil apapun upaya yang dilakukan, bisa memberikan kontribusi dan diharapkan akan menjadi suatu gerakan besar. Small action does create big