Page 5 - Microsoft Word - 1Feb.docx
P. 5
Cerita mereka berkisar ide- ide kreatif yang sudah dan
belum sempat terlaksana karena sejumlah hambatan.
Misalnya Soraya, seorang sarjana S1 asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang ingin membangun industri hilir kopi di kampungnya namun tak punya modal untuk memulainya.
“Produksi kopi di daerah dataran tinggi di Sumbawa itu banyak, Pak. Tapi, petaninya gakpunya modal untuk beli alat-alat. Saya ingin memanfaatkan SDM di sana dari mulai pengolahan hingga packaging,” kata Soraya kepada Jokowi.
Ada juga Alif, lulusan S2 Universitas Osaka, Jepang, yang kini bekerja di PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Persero. Ide yang ia punya adalah mengembangkan panel surya di Indonesia, khususnya di daerah-daerah pelosok. Lagi-lagi, Alif tidak memiliki modal yang cukup untuk memulai risetnya tersebut, pun bergabung dengan lembaga riset/perusahaan yang sejalan dengan idenya.
Dari curhatan itu, Jokowi kemudian menyadari bahwa diperlukan sebuah badan pemerintah yang bisa menampung ide-ide anak muda. Makanya, usulan badan riset nasional pun diucapkannya lagi.
“Seperti yang sudah sering saya katakan, ke depan perlu namanya badan riset nasional. Konsolidasikan dengan baik agar pemikiran tadi bisa kita tampung, bisa kita realisasikan,” ucap Jokowi.
Badan riset nasional tidak hanya akan berfungsi sebagai tempat penampungan ide
saja. Di situ, inovasi anak-anak muda bisa turut dibina dan dimatangkan.
Apalagi, dari segi permodalan sebenarnya sudah tidak sesulit dahulu. Kini, banyak perbankan yang menawarkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga yang kompetitif.
Usulan Jokowi ini sebenarnya tak baru. Bahkan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah menindaklanjuti dengan menggodok Rancangan Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (RUU Sisnas-Iptek).
Dari situ, anggota legislatif juga bakal mendorong pembentukan badan yang
berfungsi memperkuat sinergi penelitian dan rekayasa sosial antar-lembaga riset.
Ketua Pansus RUU Sisnas-Iptek DPR RI Daryatmo Mardiyanto berujar, banyak riset
yang dihasilkan lembaga-lembaga penelitian tumpang tindih karena tidak ada koordinasi antara lembaga riset dan institusi lainnya.
Salah satunya terkait dengan penelitian padi. Banyak lembaga riset yang melakukan penelitian yang hasilnya ternyata hampir mirip. Namun, tidak ada yang masuk dalam sistem perencanaan nasional.
“Bidang penelitian dalam praktiknya ada duplikasi. Sementara, hasil penelitian harusnya dipersembahkan melalui praktik di lapangan,” kata Daryatmo, dalam KOMPAS.com, awal Januari 2019.
Selain DPR, Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner, Emrus Sihombing menyatakan pembentukan badan riset nasional dapat menjadi terobosan baru dalam mendorong pembangunan di berbagai macam sektor.
Riset dan kajian yang mendalam dapat menciptakan program dan kebijakan yang terukur. Apalagi, sambung Emrus, telah banyak negara yang cepat berkembang karena inovasi-inovasinya.
“Kalau itu benar-benar diwujudkan, kita akan mampu melakukan pembangunan di semua sektor, baik itu industri, teknologi, dan sosial ekonomi,” kata Emrus, dikutip