Page 110 - Merayakan Ibu Bangsa_201216_1406
P. 110
Saya hanya bisa keluar malam hari untuk
bertemu dengan rakyat. Satu malam, saya
dengan ojek pulang dari desa. Saya pulang ke
rumah untuk menyusui bayi, umurnya baru
dua bulan.Di jalan menuju Desa Kapan, kami
dihadang motor, tujuh orang. Mereka bilang
disuruh Bupati. Preman pakai kerudung hitam.
Dia ancam bunuh saya. Rambut saya dijambak,
ditampar, dan ditendang berkali-kali. Mereka
hampir parang kaki saya, tapi luput. Saya
dilepas setelah uang di dompet diambil.
Satu minggu setelah itu, ada ancaman lagi
dari pekerja tambang. Rumah saya dikepung
sehingga tidak bisa masuk rumah. Saya harus
lari ke hutan membawa bayi dan pisah dengan
suami dan dua anak saya yang lain selama
enam bulan. Keluarga saya juga mendapat
kekerasan. Anak kedua, laki-laki, mendapat
lemparan batu di kepala sampai bocor. Anak-
anak tidak nyaman bersekolah di kota. Mereka
pindah sekolah di kampung.
SM: Apa yang paling berat Mama hadapi saat
perjuangan?
MA: Yang paling berat adalah tekanan dari orang
sekitar, keluarga, tetangga, termasuk dari
perempuan. Biasanya datang dari warga pro
pertambangan. Saya dianggap pelacur karena
sering di luar rumah. Dikatakan perempuan
malam, tidak mempunyai harga diri, naik ojek
turun ojek, tidak tidur di rumah, tidak mengurus
rumah tangga, bahkan dituduh selingkuh
dengan tukang ojek. Saya sebetulnya merasa
malu, sakit hati dan sedih membayangkan
110

