Page 148 - Buku Paket Kelas 12 Sejarah Indonesia
P. 148

pemerintahan dan mengelola anggaran daerahnya sendiri. Otoritarianisme merambah segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk kehidupan politik.
Pemerintah Orde Baru dinilai gagal memberikan pelajaran berdemokrasi yang baik. Golkar dianggap menjadi alat politik untuk mencapai stabilitas yang diinginkan. Sementara dua partai lainnya hanya sebagai alat pendamping agar tercipta citra sebagai negara demokrasi. Sistem perwakilan bersifat semu bahkan hanya dijadikan topeng untuk melanggengkan sebuah kekuasaan secara sepihak. Demokratisasi yang terbentuk didasarkan pada KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), sehingga banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/ DPR yang tidak mengenal rakyat dan daerah yang diwakilinya.
Meskipun pembangunan ekonomi Orde Baru menunjukan perkembangan yang menggembirakan, namun dampak negatifnya juga cukup banyak. Dampak negatif ini disebabkan kebijakan Orde Baru yang terlalu memfokuskan/mengejar pada pertumbuhan ekonomi, yang berdampak buruk bagi terbentuknya mentalitas dan budaya korupsi para pejabat di Indonesia.
Distribusi hasil pembangunan dan pemanfaatan dana untuk pembangunan tidak dibarengi kontrol yang efektif dari pemerintah terhadap aliran dana tersebut sangat rawan untuk disalahgunakan. Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan terbukanya akses dan distribusi yang merata sumber-sumber ekonomi kepada masyarakat. Hal ini berdampak pada munculnya kesenjangan sosial dalam masyarakat Indonesia, kesenjangan kota dan desa, kesenjangan kaya dan miskin, serta kesenjangan sektor industri dan sektor pertanian.
Selain masalah–masalah di atas, tidak sedikit pengamat hak asasi manusia (HAM) dalam dan luar negeri yang menilai bahwa pemerintahan Orde Baru telah melakukan tindakan antidemokrasi dan diindikasikan telah melanggar HAM. Amnesty International misalnya dalam laporannya pada 10 Juli 1991 menyebut Indonesia dan beberapa negara Timur Tengah, Asia Pasifik, Amerika Latin, dan Eropa Timur sebagai pelanggar HAM. Human Development Report 1991 yang disusun oleh United Nations Development Program (UNDP) juga menempatkan Indonesia kepada urutan ke-77 dari 88 pelanggar HAM (Anhar Gonggong ed, 2005:190).
Sekalipun Indonesia menolak laporan kedua lembaga internasional tadi dengan alasan tidak “fair”dan kriterianya tidak jelas, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam negeri sendiri pemerintah Orde Baru dinilai telah melakukan beberapa tindakan yang berindikasi pelanggaran HAM. Dalam kurun waktu 1969-1983 misalnya, dapat disebut peristiwa Pulau Buru (Tempat penjara bagi orang-orang yang diindikasikan terlibat PKI) (1969-1979),
140 Kelas XII SMA/MA
 



























































































   146   147   148   149   150