Page 69 - Buku Paket Kelas 9 Agama Buddha.pdf
P. 69
B. Status Perempuan dalam Agama Buddha
Di dalam Agama Buddha dikenal kesetaraan atau “ketiada-perbedaan” antara seorang anak laki-laki dan perempuan. Gerakan kaum perempuan sebagai gerakan perlawanan terhadap ketidakadilan gender. Sang Buddha telah meletakkan fondasi kuat hampir 2600 tahun lalu tentang hal itu. Dalam Agama Buddha dikenal jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Tetapi di dalam pencapaian pembebasan, Sang Buddha tidak membedakan jenis kelamin.
Sang Buddha juga mengatakan, bahwa beberapa perempuan dapat lebih baik daripada laki-laki. Ini merupakan kata-kata asli yang pernah disampaikan Sang Buddha. Tidak hanya itu, Sang Buddha juga sering menggunakan istilah “Matugama” yang berarti “Ibu Rakyat” atau “Perhimpunan Kaum Ibu”. Ini menggambarkan betapa besarnya peranan seorang perempuan. Demikian pula, Sang Buddha juga membukakan pintu bagi perempuan untuk mencapai kesucian. Beliau menerima bibinya, Prajapati Gotami yang sebagai ibu tirinya memasuki kehidupan Sangha. Akhirnya Prajapati Gotami untuk mendirikan Sangha Bhikkuni.
Sehubungan dengan hal itu, pada tahun 1998 di vihara His Lai Los Angeles, 200 orang bhiksuni dari berbagai tradisi Buddhis menerima pentahbisan penuh. Perempuan lainnya di Asia, seperti Voramai Kalsbingshing juga mempelopori dan memperjuangkan Sangha Bhikkhuni di Thailand. Banyak pula perempuan di Eropa dan Amerika yang mempelopori gerakan emansipasi Chatsumam Kabilisngh, perempuan Buddhis yang menempuh cara hidup kebhiksuan ini. Beliau melihat bahwa agama Buddha juga memiliki hubungan dengan perempuan.
“Beberapa perempuan sungguh lebih baik (daripada laki-laki). Berdasarkan dia, O Raja para manusia. Ada perempuan yang bijaksana, saleh, memperlakukan ibu mertua sebagai dewi, dan hidup suci. Pada istri mulia seperti itu akan lahir anak gagah berani, seorang raja dunia, yang akan memerintahkan kerajaan.”
Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti
63