Page 15 - MAJALAHBELMAWA
P. 15

LAPORAN UTAMA
P agi telah jauh terang tanah ketika sejumlah mahasiswa menyajikan pertunjukan Tari Saman di pelataran rektorat Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Harmonisasi gerak dan lagu dalam tarian itu tentu saja
tidak muncul seketika. Ada proses, ada waktu yang tersita untuk menjadikan rutinitas latihan menjadi kebiasaan.
Maka bayangkanlah tentang kawah candradimuka; tentang lembaga yang tak putus mencetak generasi mulia; tentang institusi yang paham luar dalam bahwa syariat adalah harga mati; namun tetap menjaga toleransi; tentang orang-orang yang menasbihkan ilmu dan agama agar seimbang. Universitas Syiah Kuala sesungguhnya ibarat lorong kubikal ke jalan terang. Selama hampir enam dekade, ratusan ribu lebih setiap tahun, mahasiswa datang menyerap hujan ilmu, lalu pergi menjalani takdir sebagai dokter, atlet, penari, guru, arsitek, atau tenaga profesional lainnya. Alumni terserak di ruang-ruang kelas yang terbebani mimpi, agar negeri tak disesaki kaum pandir.
Kampus berjuluk Jantung Hati Rakyat Aceh ini terdiri atas dua belas fakultas dan satu program pascasarjana. Kurikulum Unsyiah tak cuma padat dengan sekarung kata dan angka, namun juga kental dengan karakter islami. Hal ini selaras dengan sejarah sosial wilayah serambi mekah yang sarat dengan tatanan syariat.
“Infrastruktur dan akses pustaka yang baik menjadi kunci mutu internal Unsyiah. Namun jauh lebih penting pula, Unsyiah mengembangkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak.” papar Rektor Unsyiah Samsul Rizal.
Di sela sengkarut masalah akses pendidikan di daerah 3-T, kampus yang menyandang predikat A dan menempati peringkat ketiga belas versi webomatriks ini juga turut andil menerjunkan ratusan sarjana ke pelosok negeri. Begitu pula sebaliknya, putra terbaik luar Jawa pun diberi kesempatan berkuliah di sini. Amelia Sanadi (22), misalnya, mahasiswa asal Papua ini berharap mimpi besarnya menjadi lilin di tanah kelahiran akan terwujud. Ia seorang Kristen. Namun, toleransi telah terbangun dalam dirinya.
“Karib saya di sini yang muslim mengenakan busana gamis berjilbab. Saya tidak, tapi tetap menyesuaikan mengenakan rok dan kemeja sopan, menghormati mereka,” terang Amel.
Seperti juga menari Saman, di Unsyiah ada harmonisasi yang sengaja dikejar, ada keseimbangan yang sengaja ditanam pada setiap gumpal jantung mahasiswa dan mahasiswi yang belajar. Takkan menjumpai mahasiswa bercelana
ketat di sini, takkan mendengar tutur kata sampah di sini. Ibadah salat dan mengaji di sela-sela jam rehat perkuliahan menjadi cermin ilmu juga perlu rida Ilahi.
“Pembinaan agama Islam menjadi mata kuliah wajib di Unsyiah. Hal ini menjadi ciri khusus kampus kami. Mitigasi bencana juga muatan lokal yang diselipkan di kurikulum kami. Kedua unsur itu sangat penting untuk lulusan berkontribusi ke masyarakat dan lingkungannya,” lanjutnya.
Kampus ini percaya melahirkan lulusan sehat, jenius, atau ilmuwan bermoral yang sadar keseimbangan alam adalah kawan sejalan, jauh lebih penting ketimbang melahirkan kaum pandai tapi korup akhlak atau orang pintar tapi keblinger.
Semua ini demi menghasilkan lulusan yang andal dan tahan banting di segala situasi, terserap ke lapangan kerja dan berkontribusi kepada masyarakat luas. Mereka akan menjadi penyegar, menjadi hujan, setelah sekian lama mengendap menjadi awan.***(NRS/HAY/ASY/EDI)
“Infrastruktur dan akses pustaka
yang baik menjadi kunci mutu internal Unsyiah. Namun jauh lebih penting pula, Unsyiah mengembangkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak.” papar Rektor Unsyiah Samsul Rizal.
BAHANA BELMAWA
15


































































































   13   14   15   16   17