Page 12 - Microsoft Word - KLIPING230119.docx
P. 12
ini, tahun ini, semoga bisa direalisasikan tahun ini, perlu satu tahun untuk uji coba. Ini suatu tantangan, menunggu teknologi terlalu lama, perlu mengedukasi waspada potensi bencana," jelasnya.
Dwikorita menjelaskan, sejak 2018, sebelum terjadinya tsunami Palu dan Selat Sunda, BMKG dan BPPT menyiapkan sistem baru untuk sensor bawah laut.
"BMKG dan BPPT menyiapkan sistem baru, pasang sensor bawah laut, mengukur tekanan hidrostatis seketika," imbuhnya.
"Sehingga ada gejala-gejala itu akan segera diketahui. Dari perubahan tekanan hidrostatis data akan terkirim ke darat, melalui berbagai hal, smart cabel, dan lain- lain. Poinnya bagaimana membaca dan mengirim bacaannya ke sumber kontrol, ke BNPB dan BMKG," bebernya.
Dwikorita menyatakan sejauh ini baru Amerika Serikat dan Jepang yang memiliki sistem sejenis tersebut.
"Kita belum ada, ini masih usulan. Baru Amerika dan Jepang, yang sudah melakukan itu Amerika itu baru uji coba," ujarnya.
Dwikorita menyatakan 90 persen tsunami disebabkan gempa tektonik bawah laut. Sisa 10 persennya disebabkan oleh bermacam hal.
"Sembilan puluh persen tsunami karena gempa tektonik di bawah laut, contoh di Aceh. Sebetulnya tsunami 10 persen bisa karena erupsi gunung api, longsor bawah laut juga, seperti Selat Sunda. Ada juga diakibatkan oleh meteor jatuh. Yang langka itu sistem kita belum disiapkan. Baru umum dan tektonik," jelas Dwikorita.
(rna/fjp)