Page 106 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 JULI 2021
P. 106

Dia berkaca dari program rapid tes untuk mendeteksi ada atau tidaknya seseorang terpapar virus
              Covid-19 (baik rapid test sereologi, antigen, dan PCR), mekanisme harga di pasaran cenderung
              mengikuti hukum pasar.



              VAKSINASI COVID-19 BERBAYAR DIKHAWATIRKAN MEMBERATKAN PEKERJA

              Presiden  Konfederasi  Serikat  Pekerja  Indonesia  (KSPI)  Said  Iqbal  menyebut  ada  tiga
              kekhawatiran terkait diadakannya vaksin gotong royong individu atau vaksin berbayar. Salah
              satunya dikhawatirkan akan menyebabkan komersialisasi.

              Dia berkaca dari program rapid tes untuk mendeteksi ada atau tidaknya seseorang terpapar virus
              Covid-19 (baik rapid test sereologi, antigen, dan PCR), mekanisme harga di pasaran cenderung
              mengikuti hukum pasar.
              Awalnya  pemerintah  menggratiskan  program  rapid  tes,  tetapi  belakangan  rapid  tes  terjadi
              komersialisasi dengan harga yang memberatkan. Misalnya, adanya kewajiban rapid tes sebelum
              naik  pesawat  dan  kereta  api,  bertemu  pejabat,  bahkan  ada  buruh  yang  masuk  kerja  pun
              diharuskan rapid tes.

              "Akhirnya ada semacam komersialiasi, dari yang awalnya digratiskan. Bahkan perusahaan yang
              awalnya mengratiskan rapid tes bagi buruh di tempat kerja masing-masing akhirnya setiap buruh
              harus melakukannya secara mandiri (membayar sendiri)," kata Said di Jakarta, Senin (12/7).
              Dia menegaskan, itulah yang disebut komersialiasi. Tidak menutup kemungkinan program vaksi
              gotong royong dan vaksin berbayar secara individu juga terjadi hal yang sama. Awalnya dibiayai
              perusahaan, tetapi ke depan biaya vaksin gotong royong akan dibebankan kepada buruh.

              "Dan dengan vaksin berbayar individu berarti hak sehat untuk rakyat telah diabaikan oleh negara
              karena vaksinasi tidak lagi dibiayai pemerintah," imbuhnya.

              Kedua, kemampuan keuangan tiap-tiap perusahaan dan individu warga negara berbeda. Said
              Iqbal memperkirakan, jumlah perusahaan menengah ke atas yang mampu membayar vaksin
              tidak lebih dari 10 persen dari total jumlah perusahaan di Indonesia atau dengan kata lain hanya
              20 persen dari total jumlah pekerja di seluruh Indonesia yang perusahaannya mampu membayar
              vaksin gotong rotong tersebut.

              Berarti hampir 90 persen dari total jumlah perusahaan di seluruh Indonesia atau lebih dari 80
              persen dari total jumlah pekerja di Indonesia, perusahaannya tidak mampu membayar vaksin
              gotong royong.

              "Maka  ujung-ujungnya  akan  keluar  kebijakan  pemerintah  bahwa  setiap  pekerja  buruh  harus
              membayar sendiri biaya vaksi gotong royongnya. Jika ini terjadi apakah Kadin dan Apindo akan
              ikut bertanggungjawab? Jangan membuat kebijakan yang manis di depan tapi pahit di belakang
              bagi buruh Indonesia," tegasnya.

              Menurutnya, jumlah buruh di Indonesia sangat besar. Menurut data BPS 2020 jumlah buruh
              formal  sekitar  56,4  juta  orang.  Sedangkan  buruh  informal  sekitar  75  juta  orang.  Dengan
              demikian, total jumlah buruh di Indonesia ada sekitar 130 jutaan orang. Bayangkan dengan
              keluarganya, maka total jumlah buruh dan keluarganya mendekati angka 200-an juta orang.

              Said  mempertanyakan  apakah  seluruh  perusahaan  mampu  membayar  200-an  juta  orang
              (setidak-tidaknya 130-an juta buruh) untuk mengikuti vaksin gotong royong. Jika harga vaksin
              gotong royong Rp 800-qan ribu dikalikan 130-an juta buruh, maka dana yang harus disediakan



                                                           105
   101   102   103   104   105   106   107   108   109   110   111