Page 113 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 JULI 2021
P. 113
Menurut Said Iqbal, dalam keputusan yang telah diteken Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin
pada 11 Mei 2021, bahwa harga vaksin gotong royong buatan Sinopharm adalah Rp 321.660 per
dosis dan tarif pelayanan vaksinasi sebesar Rp 117.910 per dosis.
Terkait dengan hal itu, ada beberapa alasan yang menjadi kekhawatiran KSPI bahwa vaksin
gotong royong atau vaksin berbayar akan menyebabkan komersialisasi. Pertama, berkaca dari
program rapid tes untuk mendeteksi ada atau tidaknya seseorang terpapar virus COVID-19 (baik
rapid test sereologi, antigen, dan PCR), mekanisme harga di pasaran cenderung mengikuti
hukum pasar.
Awalnya pemerintah menggratiskan program rapid tes, tetapi belakangan rapid tes terjadi
komersialisasi dengan harga yang memberatkan. Misalnya, adanya kewajiban rapid tes sebelum
naik pesawat dan kereta api, bertemu pejabat, sampai ada buruh yang masuk kerja diharuskan
rapid tes.
"Ini yang disebut komersialisasi. Tidak menutup kemungkinan program vaksin gotong royong
dan vaksin berbayar secara individu juga terjadi hal yang sama. Awalnya dibiayai perusahaan,
tetapi ke depan biaya vaksin gotong royong akan dibebankan kepada buruh. Dan dengan vaksin
berbayar individu berarti hak sehat untuk rakyat telah diabaikan oleh negara karena vaksinasi
tidak lagi dibiayai pemerintah," ujar Said Iqbal.
Kedua, kemampuan keuangan setiap perusahaan dan individu warga negara berbeda. Said Iqbal
memperkirakan jumlah perusahaan menengah ke atas yang mampu membayar vaksin tidak lebih
dari 10 persen dari total jumlah perusahaan di Indonesia. Atau dengan kata lain, hanya 20 persen
dari total jumlah pekerja di seluruh Indonesia yang perusahaannya mampu membayar vaksin
gotong royong tersebut.
Berarti hampir 90 persen dari total jumlah perusahaan di seluruh Indonesia atau lebih dari 80
persen dari total jumlah pekerja di Indonesia, perusahaannya tidak mampu membayar vaksin
gotong royong.
"Maka ujung-ujungnya akan keluar kebijakan pemerintah bahwa setiap pekerja buruh harus
membayar sendiri biaya vaksin gotong royongnya. Jika ini terjadi apakah Kadin dan Apindo akan
ikut bertanggung jawab? Jangan membuat kebijakan yang manis di depan tapi pahit di belakang
bagi buruh Indonesia," tegas Said Iqbal.
Said Iqbal mengatakan jumlah buruh di Indonesia sangat besar. Menurut data BPS 2020, jumlah
buruh formal sekitar 56,4 juta orang. Sedangkan buruh informal sekitar 75 juta orang. Dengan
demikian, total jumlah buruh di Indonesia ada sekitar 130 jutaan orang. Bayangkan dengan
keluarganya, maka total jumlah buruh dan keluarganya mendekati angka 200 an juta orang.
Said Iqbal merasa perusahaan tentu keberatan dalam membeli harga vaksin tersebut untuk
jumlah karyawan yang tidak sedikit. Hal itu juga bakal terjadi secara individu karena tidak semua
warga negara mempunyai kemampuan bayar secara mandiri.
"Jadi ini hanya proyek lip service yang hanya manis di retorika atau pemanis bibir tetapi sulit
diimplementasikan di tingkat pelaksanaan. Ujung-ujungnya vaksin gotong royong hanya akan
membebani buruh dari sisi pembiayaan," ungkap Said Iqbal.
Ketiga, lanjut Said Iqbal, di tengah ledakan PHK, pengurangan upah buruh, dan resesi ekonomi
yang saat ini masih mengancam rasanya tidak mungkin memberikan tambahan beban biaya
kepada perusahaan untuk menyelenggarakan vaksinasi gotong royong tersebut.
Pasti biaya vaksin gotong royong akan memberatkan perusahaan dan pada gilirannya nanti
justru akan menekan kesejahteraan buruh. Apalagi kalau setiap warga negara membayar vaksin
secara pribadi.
112