Page 420 - BUKU KATA FADLI CATATAN KRITIS DARI SENAYAN
P. 420
Dr. Fadli Zon, M.Sc
belajar dari figur-figur jurnalis masa lampau, seperti Mochtar Lubis atau
bahkan Tirtoadisoerjo.
Dulu Mochtar Lubis disebut sebagai “wartawan jihad” karena
keberaniannya bersikap kritis terhadap kekuasaan. Baik terhadap Presiden
Soekarno maupun kemudian terhadap Presiden Soeharto, ia selalu
bersikap kritis. Jihadnya sebagai jurnalis adalah selalu bicara kebenaran
dan berusaha memerangi kejahatan, siapapun pelakunya. Termasuk,
ketika pelakunya adalah penguasa sekalipun. Itu yang dulu membuat
Harian Indonesia Raya berani mengangkat isu korupsi di Pertamina, yang
kemudian membuat orang kepercayaan Presiden tersingkir dari posisi
Direktur Pertamina.
Pada masa pergerakan nasional, pers memang erat bersinggungan
dengan politik. Tapi politiknya adalah politik kebangsaan, bukan politik
partisan. Dulu, misalnya, Mohammad Hatta mendirikan Majalah Daulat
Ra’jat, atau Soekarno memimpin Fikiran Ra’jat dan Soeloeh Indonesia
Moeda. Media-media itu digunakan sebagai alat perjuangan, untuk
membela kepentingan rakyat banyak, bukan kepentingan para pemilik
modal.
Jangan sampai kita kembali lagi kepada zaman keemasan pers
kolonial dulu, yang sepenuhnya dikendalikan oleh para pemilik modal.
Pada awal abad ke-20, Surat Kabar AID de Preanger Bode, misalnya, adalah
juru bicaranya para pemodal yangh menguasai perkebunan teh, karet,
dan kina. Sementara, Soerabajaasch Handelsblad, adalah corongnya para
pemodal yang menguasai industri gula. Jadi, semua media merupakan juru
bicara dari para pemilik modal. Tentu kita tak ingin mengulang lagi semua
itu.
Di hari pers ini, saya ingin mengajak insan pers Indonesia untuk
mengingat kembali khittah-nya. Para jurnalis harus kembali ke barak dan
menjaga diri terhadap hegemoni kekuasaan. Rekan-rekan jurnalis harus
menjaga kehormatan penanya. Karena sesungguhnya pena jurnalis jauh
lebih tajam dari sebilah pedang!
Selamat Hari Pers Nasional, semoga di tahun politik, pers menjadi
oase yang mengawal demokrasi dengan profesional dan independen.
Jakarta, 9 Februari 2018
442 KATA FADLI

