Page 121 - Himpunan Policy Brief: Permasalahan dan Kebijakan Agraria Pertanahan dan Tata ruang di Indonesia
P. 121
112 Himpunan Policy Brief
Ketiga, adanya tatanan yang mengikat masyarakat adat Dayak, umumnya tidak tertulis,
disamping norma yang tertulis. Berdasarkan Perjanjian Tumbang Anoi 1894, dan pada bulan
April 2014 disepakati sebagai dasar segala Hukum Adat Dayak, dalam rapat Majelis Adat Dayak
Nasional (MADN)/Dewan Adat Daerah (DAD), terdapat kesepakatan hukum adat tersebut
dapat disederhanakan menjadi tiga kelompok utama yaitu: 1) pelanggaran adat dalam
perkawinan dan berumah tangga serta tata adat; 2) sengketa tanah dan; 3) tindak kriminal.
Khususnya rujukan yang dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa tanah adalah denda
adat, perkara perselisihan batas, pembagian lajang warisan serta macam-macam hak
pemanfaatan tanah. Tatanan dan kesepakatan hukum adat yang ada jauh sebelum Indonesia
merdeka ini menjadi sumber tata kelola kehidupan yang bersifat normatif, mengandung sifat
hukum yang keberadaannya dihargai, dihormati dan dipatuhi oleh masyarakat adat setempat.
Pelanggaran terhadap norma-norma hukum adat itu, akan terkena sanksi dan hukuman.
Berdasarkan uraian tersebut yang diperkuat dengan hasil observasi lapangan diketahui
bahwa pola penguasaan tanah-tanah adat di Kalimantan Tengah sesuai dengan prediksi para
pakar yaitu pada kenyataannya kekuatan hak ulayat cenderung akan berkurang, dengan makin
menjadi kuatnya hak pribadi para warga atau anggota masyarakat hukum adat yang
bersangkutan atas bagian-bagian tanah-ulayat yang dikuasainya. Realitas menunjukkan bahwa
hak ulayat (yang bersifat komunal) sudah melemah, sedangkan hak-hak (adat) atas tanah oleh
individu dan kelompok semakin menguat, dan lama kelamaan menjadi hak milik adat. Bagian-
bagian tertentu dari tanah-tanah adat yang sudah dikuasai oleh perorangan atau individu-
individu tertentu saat ini sudah menjadi tanah milik adat, sedangkan ada juga bagian-bagian
tertentu tanah-tanah adat yang saat ini masih merupakan milik komunal masyarakat adat
Dayak masing-masing sesuai entitas masyarakatnya.
Dilema Dalam Pengakuan Yuridis Terhadap Tanah Adat/Ulayat
Pada bagia B di atas, telah dijelaskan bahwa terdapat bagian-bagian tertentu dari tanah-
tanah adat saat ini sudah menjadi tanah milik adat, sedangkan ada juga bagian-bagian tertentu
tanah-tanah adat yang saat ini masih tetap merupakan milik (komunal) oleh masyarakat adat
masing-masing entitas Dayak. Dalam upaya pengakuan, penghormatan dan penghargaan
keberadaan tanah-tanah masyarakat adat dimaksud Pemerintah berupaya menyelesaiakannya
dalam wujud pengadministrasian kepemilikan/penguasaan tanahnya, namun mengalami
beberapa hambatan. Upaya penyelesaian kepemilikan/penguasaan tanah-tanah masyarakat
adat yang merupakan amanat dari konstitusi dan putusan MK 35, yang secara teknis
ditindaklanjuti melalui Perber 4 Menteri dan Kepres, namun realitas di lapangan
penyelesaiannya belum tuntas, menemui jalan buntu, serta hanya sebagian kecil yang ada
harapan penyelesaiannya utamanya tanah-tanah yang dikuasai oleh anggota masyarakat secara
individu atau kelompok.
1. Klaim kehutanan sebagai kawasan hutan (Tanah Negara)
Keberadaan masyarakat adat dan wilayah (tanah) adat di Kalimantan Tengah sudah ada
sejak lama dan diakui oleh konstitusi, namun sebagian besar (seluas 15.300.000 Hektar atau