Page 32 - Himpunan Policy Brief: Permasalahan dan Kebijakan Agraria Pertanahan dan Tata ruang di Indonesia
P. 32
Permasalahan dan Kebijakan Agraria, Pertanahan, dan Tata Ruang di Indonesia 23
wilayahnya, mengelola dan menguasai sebagian lahan yang ternyata adalah HL. Akibatnya
warga tersebut ditangkap dan berurusan dengan pihak kepolisian.
2. Permasalahah Fisik
Beberapa permasalahan fisik yang ditemukan di lapangan antara lain: (a) tidak
ditemukannya tanda batas kawasan hutan dengan area penggunaan lain (APL); (b) luasan
yang teridentifikasi sebagai Peta Indikatif TORA terlalu kecil dibanding luasan kawasan
hutan yang sudah dikuasai oleh masyarakat, lembaga keagamaan, pemerintah desa, maupun
pemerintah daerah; dan (c) Sebagian besar kenampakan fisiknya sudah berupa
permukiman.
3. Permasalahan Sosial Ekonomi
Permasalahan sosial ekonomi yang berhubungan dengan penguasaan tanah pada
kawasan hutan antara lain: (a) keterbatasan sarana dan prasarana, baik jalan, gedung
sekolah maupun pelayanan kesehatan; (b) rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang
ditunjukkan oleh bentuk hunian yang dimiliki; (c) ketidakpercayaan kepada pemerintah
terkait penyelesaian masalah penguasaan tanah di kawasan hutan, yang ditunjukkan oleh
beberapa kali aksi demo masyarakat di sekitar hutan kepada pemerintah daerah.
4. Permasalahan Kelembagaan dan Semberdaya Manusia
Beberapa permasalahan kelembagaan dan SDM yang teridentifikasi, baik pada level
lokal, regional maupun nasional antara lain: (a) warga masyarakat dan pemerintah desa
belum memiliki kelembagaan yang menangani PPTKH termasuk SDM yang
bertanggungjawab; (b) institusi pemerintah kabupaten yang menjadi leading sector PPTKH
tidak jelas dan Gugus Tugas Reforma Agraria Tingkat Kabupaten belum terbentuk; (c) pada
level provinsi, Tim Inver yang dibentuk oleh Gubernur dan Gugus Tugas Reforma Agraria
yang juga dibentuk oleh Gubernur, belum menunjukkan sinergisme dan hubungan yang
jelas; (d) pada level pusat, Kementerian LHK dan ATR/BPN belum seirama dalam
menjalankan agenda Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS).
5. Permasalahan Anggaran
Ketidakjelasan kelembagaan yang menangani pada level operasional berakibat pada
ketersediaan anggaran. Pada saat Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN sudah
mengalokasikan anggaran untuk kegiatan redistribusi tanah melalui DIPA, ternyata institusi
yang lain belum tersedia. Padahal secara operasional, kegiatan redistribusi tanah sebagai
bentuk reforma agraria merupakan kegiatan akhir dari seluruh rangkaian PPTKH. Bahkan
ada penganggaran yang misslink dengan kebijakan, karena ada pada dua institusi yang
berbeda. Misal, Kanwil BPN Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2018 memiliki anggaran
redistribusi tanah sejumlah 72.800 bidang. Namun demikian, pihak KLHK melalui BPKH
memprioritaskan pelepasan kawasan hutan yang berupa permukiman, fasilitas umum dan
fasilitas sosial.

