Page 207 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 207
Mochammad Tauchid
dan akte yang sah (layang sah). Pegawai yang berhak harus
membayar ganti rugi atas pekarangan yang jumlahnya sudah
ditetapkan dalam akte.
Kalau di atas pekarangan sudah didirikan rumah batu,
sedangkan dulu sudah mendapat izin kawedanan (terutama
pekarangan-pekarangan yang sudah didiami oleh orang-or-
ang Tionghoa atau Eropa) maka pengusiran tidak diizinkan.
Untuk menjaga kemungkinan semacam ini, ditentukanlah
tanah-tanah pekarangan yang dapat diberikan dengan hak
opstal kepada orang-orang asing.
Seorang abdi dalem yang meninggal, tanam-tanaman dan
rumahnya jatuh kepada ahli warisnya. Untuk sementara, ahli
warisnya boleh mendiami tempat tersebut sebagai indung
kawedanan. Namun, setelah pengganti jabatannya ditetapkan,
hak atas tanah biasanya jatuh kepada anak lelaki yang tertua
atau terkadang kepada anggota keluarganya yang lain (waris
pangkat), sedangkan penggantinya dengan sendiri mempu-
nyai hak atas pekarangan yang didiami (hak memakai). Peng-
gantinya diwajibkan melakukan lelang harga atas tanam-
tanaman dan rumah. Uang lelang itu lalu dibagikan kepada
ahli waris lainnya yang berhak.
Hal sepert ini juga terjadi di beberapa tempat di Jawa.
Pusaka tidak terus-menerus berulang-ulang dibagi, seperti
yang berlaku di Yogyakarta. Tetapi orang yang menerimanya
(memakainya)harus membayar bagiannya kepada ahli waris
lainnya yang berhak. Berbagai macam kewajiban diperhitung-
kan dalam menentukan jumlah bagian itu. Hal semacam ini
kemudian sering menimbulkan perselisihan di antara ahli
waris.
Kalau seorang penduduk dalam satu kampung golongan,
186