Page 144 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 144
Paku Alam dan Berbagai Peranannya
nonkooperatif di Indonesia. Setidaknya Indonesia berpar-
lemen ala Hindia Belanda tetap menjadi bagian dari proses
menuju Indonesia merdeka, sekalipun banyak pihak-pihak
yang tidak bersepakat dengan keberadaan Volksraad dll., akan
tetapi sebagai pengalaman historis, hal itu menjadi catatan
sejarah tersendiri bagi pelaku dan pengkritik. Momen itu pula
yang menjadikan ukuran setelah Indonesia merdeka, nafsu
untuk berparlemen segera tidak terbendung. Namun tampak-
nya model dan komposisi serta sistem yang dibangun oleh
Volksraad tidak ‘dilirik’ oleh pemerintah Indonesia pasca
proklamasi. Yogyakarta tampaknya mengapresiasi sistem
yang digunakan Pemerintah Kolonial dalam membangun
pemerintahan. Lagi-lagi apa yang dilakukan kolonial cende-
rung dilihat sebagai langkah membela kepentingan Belanda
semata, tanpa dilihat lebih jauh sebagai transfer gagasan dalam
membangun sistem pemerintahan yang modern.
Dalam catatan sejarah, parlemen yang terbentuk lewat
pemilihan umum secara nasional baru pada tahun 1955, par-
lemen daerah tingkat I (provinsi) 1951, dan parlemen tingkat
II (kabupaten) 1946. Pengalaman Belanda dalam membangun
sistem pemerintahan modern tampaknya dipahami betul oleh
elite-elite Yogyakarta pascarevolusi.
Cita-cita untuk membangun pemerintahan secara mod-
ern harus diawali dengan pembangunan sistem parlemen,
karena parlemen juga yang akan membentuk badan ekskutif.
Jika parlemen berhasil terbentuk secara demokratis, maka
ekskutif juga akan dibentuk oleh rakyat lewat wakilnya, maka
prasyarat menghadirkan sebuah pemerintahan modern dan
demokratis telah terpenuhi. HB IX dan PA VIII yang berpen-
didikan Barat bermimpi cukup tinggi akan cita-cita ini dan
121

