Page 119 - Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problem Agraria dan Krisis Sosial Ekologi
P. 119
Di Pasawahan penduduk masih terus memperjuangkan
hak atas tanahnya. Di lokasi Pasawahan I yang terjadi sengketa
dengan Perum Perhutani, meskipun petani penggarap sudah
memiliki Surat Penunjukan Garapan (SPG) namun tertera
bahwa SPG bukanlah bukti kepemilikan tanah tetapi hanya
bukti penggarapan. Atas dasar SPG tersebut, penduduk ber-
usaha mendapatkan bukti kepemilikan tanah atas namanya
masing-masing. Namun demikian, nampaknya hal ini akan
menjadi sulit terwujud karena pihak Perhutani belum bersedia
melepaskan tanah-tanah dari penguasaannya.
Dari kondisi lapangan, terlihat hampir tidak ada tana-
man-tanaman perhutani di tanah-tanah garapan penduduk,
kalaupun ada hanya sebagian pohon jati saja yang tersisa.
Sebagian besar penduduk menggarap tanahnya atas dasar SPG
yang dipegangnya/dimilikinya. Kenyataan ini bisa dipahami
karena para penggarap tidak memiliki tanah usaha untuk
berusaha tani. Seandainya pihak Perhutani bersedia melepas-
kan sebagian hak atas tanah yang dikuasainya, maka per-
soalan bisa selesai dan penggarap bisa mengajukan hak atas
tanahnya berdasarkan SPG yang ada. Namun demikian pihak
Perhutani tentunya mempunyai alasan tersendiri mengapa
belum mau melepaskan hak penguasaan tanah tersebut.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sampai saat ini
tanah-tanah tersebut sudah digarap penduduk dan hasilnya
digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari,
bahkan ada pula penduduk yang bisa menyekolahkan anak-
anaknya sampai pada tingkat perguruan tinggi hanya dengan
mengandalkan usaha tani di tanah garapan tersebut.
Di lokasi Pasawahan II, kondisi penguasaan tanah juga
sama dengan di lokasi Pasawahan I. Sebagian besar masya-
rakat sudah menggarap tanah bekas HGU PT. Cipicung Pasa-
wahan. Perbedaannya, di lokasi Pasawahan II tidak dijumpai
Surat Penunjukan Garapan. Kondisi di lapangan menunjuk-
kan bahwa PT. Cipicung Pasawahan sudah tidak berada di
105