Page 29 - Tanah untuk Rakyat Laki-laki dan Perempuan Indonesia
P. 29

kriteria orang-orang  kaya di  pedesaan  selalu diukur   dengan  luasan
            tanah  yang  dimilikinya.  Semakin  banyak  dan  luasnya  sawah,  tanah
            dan kebun yang dimiliki seseorang, maka semakin kaya lah seseorang.
            Sebutan blegendar (juragan) di Jawa Tengah dan Yogyakarta ataupun
            tuan tanah di wilayah Betawi selalu menunjukkan tanah sebagai aset
            yang  harus dimiliki seseorang. Secara formalitas, beberapa indikator
            kesejahteraan juga selalu menyebutkan keterluasan lahan atau tanah
            sebagai  prasyarat  penting seseorang dianggap sejahtera  (Kleden dan
            Humaedi 2014).

                   Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
            misalnya  menyebutkan  bahwa  rumah tangga  akan terjamin
            kesejahteraannya jika rumah tangga itu memiliki setidaknya tanah
            seluas 0,5  sampai 2 hektar. Jika ia memiliki luas  di bawah 0,5
            hektar, maka ancaman kemiskinan akan terlihat jelas pada keluarga
            tersebut (Khomsan, 2015). Sayangnya, menurut penelitian Bachriadi
            (2001), banyak  petani  di  pedesaan  tidak lagi memiliki banyak
            tanah. Oleh karenanya,  fenomena  penggarap  di  atas lahannya
            sendiri yang pernah dimilikinya telah merebak di berbagai daerah.
            Kalau pun mereka memiliki, rata-rata jumlahnya berada di bawah
            0,2 hektar. Kenyataan yang lebih menyakitkan lagi, banyak kasus,
            mantan suami ataupun pihak laki-laki yang masih berumah tangga
            pun membawa dan menjual tanah bawaan atau tanah warisan dari
            istrinya. Walaupun  kelihatan  sederhana,  namun permasalahan
            seperti ini  seringkali  terdengar  di  tengah kehidupan masyarakat
            dan bahkan sampai di pengadilan. Gugatan atas kepemilikan tanah
            dari  seorang  perempuan kepada  pihak laki-laki, baik  terhadap
            suaminya, mantan suaminya, saudara laki-lakinya, ataupun saudara
            laki-laki ayahnya juga pernah terjadi dalam berbagai pengadilan di
            Indonesia. Fenomena ini menunjukkan bahwa  pihak  perempuan
            memiliki  tingkat kerentanan  atau keterbatasan lebih besar  dalam
            mengakses hak-hak sumber daya yang dimilikinya. Tabel di bawah
            ini menunjukkan tingkat partisipasi yang rendah kaum perempuan
            dalam proses sertifikasi tanah atas nama dirinya.

                                          9
   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34