Page 383 - Kembali ke Agraria
P. 383
Usep Setiawan
dan kebutuhan nyata mereka sehari-hari. Prinsip komunalisme dalam
penguasaan dan pengelolaan tanah hendaknya dicerminkan dalam
cara produksi yang kooperatif, demokratis, dan adaptif dengan kultur
mereka sendiri. Jika komunalisme, demokrasi, dan koperasi tak (lagi)
tersedia, maka tugas negara memfasilitasi transformasi sosial komu-
nitas masyarakat adat dengan tetap menempatkan mereka sebagai
pelaku utama perubahan yang berkeadilan.
Muara dari pengelolaan tanah dan kekayaan alam masyarakat
adat bersama pihak lain yang disepahami/disepakatinya adalah
masyarakat dapat turut serta dalam proses dan menikmati hasil usaha
yang dilakukan atas pengelolaan kekayaan alam secara berkeadilan.
Dalam memberdayakan masyarakat adat, hendaknya kita jangan
sampai terjerumus pada arus pemikiran dan kebijakan yang “memo-
dernisasi” budaya masyarakat adat secara otoriter.
Adat kemajuan
Stereotip masyarakat adat yang serba “tertinggal”, “terbelakang”,
dan “terasing” hendaknya tidak menjadikan para pembuat kebijakan
untuk memaksa masyarakat adat “pindah budaya”. Jika dipaksakan,
culture shock dan anomali sosial yang mengancam stabilitas sosial
serta melemahkan integrasi kebangsaan.
Pemberdayaan masyarakat adat tak perlu terjebak dalam “ro-
mantisme” untuk mempertahankan “keaslian” yang justru membe-
lenggu masyarakat untuk mengembangkan kebudayaannya. Kebuda-
yaan selalu berubah, seiring perubahan yang berkembang pada diri
manusia dan lingkungannya. Karena itu, pemberdayaan masyarakat
adat hendaknya menggunakan pendekatan partisipatif dengan mema-
hami dan mendengar aspirasi masyarakat adat sebagai dasar penentu
tujuan, agenda, dan cara pemberdayaannya.
Yang mesti disadari, sebenarnya masyarakat adat tak antikema-
juan dan tak ingin ketinggalan zaman atau isolatif dari dunia luar.
Resep yang dipakai Orang Naga dalam mempertahankan adatnya
sekaligus mengikuti perkembangan zaman adalah falsafah: Hirup
364

