Page 103 - Pengembangan Kebijakan Agraria: Untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlangsungan Ekologis
P. 103
Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keberlanjutan Ekologis
Di satu sisi, adat di Nendali juga menyimpan berbagai endapan
masalah-masalah yang panjang dan nyatanya ikut mewarnai
realitas hari ini secara langsung. Diperkirakan sekitar 8 generasi
sebelumnya dari sekarang, terjadi perubahan pemangku (dengan
demikian juga, pewaris) kekuasaan Ondoafi. Pemangku atau kepala
Ondoafi ketika itu adalah, sebutlah suku A. Ketika itu, sebagai
kepala Ondoafi yang berasal dari suku A, Ondoafi seharusnya
mendapakan dukungan terbesar dari suku A. Kenyataannya lain,
suku A justru menjadi suku yang paling banyak menentang dan
tidak patuh pada Ondoafi. Dalam anggapan Ondoafi, hal ini
terjadi karena suku A merasa yang paling berkuasa, hingga bisa
berbuat sesukanya. Melihat keadaan demikian, Ondoafi menjadi
gusar, kewibaaan Ondoafi bisa hancur jika tahta masih berada
(diturunkan) pada suku A yang semakin sombong. Suatu kali
melihat bahwa suku A sudah melewati batas kewajaran, Ondoafi
kemudian mengambil sebuah, yaitu memindahkan tahta Ondoafi
pada suku lain, dan suku A dikeluarkan dari struktur adat. Suku
A dicabut semua haknya atas jabatan adat, dengan demikian juga,
hak atas tanah-tanah adat. Suku lain diangkat sebagai pewaris
baru jabatan Ondoafi, yakni suku Wally, yang terus berkuasa
hingga hari ini.
Pada masa Ondoafi PW (selanjutnya nama-nama pelaku
disebutkan dengan inisialnya), sekitar pertengahan era 1970-an,
suku A dimaafkan, dipanggil secara adat dan diajak kembali
bergabung dalam Ondoafi Nendali. Suku A ditempatkan dalam
satu Rumah Besar bersama suku-suku lainnya, bahkan, juga
langsung diberi hak pengolahan tanah-tanah pertanian. Namun
kedatangan suku A justru menguak sentimen masa lalu. Ketenangan
berganti bisik-bisik kekhawatiran. Muncul dugaan-dugaan,
prasangka buruk dan rasa ketidaknyamanan, bahwa kedatangan
— 84 —

