Page 147 - Reforma Agraria (Penyelesaian Mandat Konstitusi)
P. 147
Reforma Agraria: Menyelesaikan Mandat Konstitusi
HGU yang menyimpang dan terlantar, bahkan untuk HGU habis kadang
masih diberikan kesempatan untuk memperpanjang atau pembaharuan
haknya, padahal lahan di atasnya terjadi konflik dengan masyarakat.
Terkait HGU habis sejauh ini ATR/BPN belum memiliki kebijakan yang
konkrit bagaimana menatanya, masih berpedoman pada turunan dari
UUPA, yakni PP No. 40 Tahun 1996 dan Permen ATR/BPN No. 7/2017.
Kebijakan ATR/BPN Masih sebatas sesuai prosedur dan belum ada upaya
untuk menyelesaikan terhadap HGU yang bermasalah dan menjadi
sumber konflik, kecuali tanah yang dialokasikan 20% untuk plasma bagi
usulan HGU baru. Sejak diberlakukan Permen ATR/BPN 7/2017, Kem.
ATR/BPN berusaha mengetatkan kebijakan alokasi lahan 20% untuk
masyarakat yang berhak. Khusus untuk perpanjangan dan pembaharuan
HGU yang dulu ketika memperoleh hak belum menyerahkan 20% lahan
kepada masyarakat, wajib menjalankan kebijakan tersebut.
Kedudukan HGU dianggap kuat, karena terkait hak yang langsung
diatur di dalam undang-undang (UUPA Pasal 28-33). Kedudukan yang
kuat atas Hak Guna Usaha menyebabkan keraguan ATR/BPN dalam
mengambil kebijakan dalam setiap penyimpangan-penyimpangan, baik
ditelantarkan maupun penggunaan yang tidak sesuai peruntukannya.
Pengalaman menunjukkan, ATR/BPN beberapa kali mengalami keka-
lahan ketika digugat oleh pemilik HGU dalam kasus penetapan tanah
terlantar (Sarjita, dkk., 2016).
Terkait perdebatan penafsiran TORA yang ditetapkan oleh KLHK,
ada 7 kriteria yang dikeluarkan dan 2 menjadi perdebatan antara KLHK
dan ATR/BPN. Pertama TORA kriteria 1 dengan alokasi 20% pelepasan
kawasan hutan untuk perkebunan, kedua kriteria 2 yakni Hutan Produksi
yang dapat dikonversi (HPK), dan ketiga adalah kriteria 4-6 PPTKH.
PPTKH tidak semua diperdebatkan namun belum bersepaham sejauh-
mana inver dilakukan untuk hak milik masyarakat dengan skema hak
individu (terutama pemukiman, Fasum-Fasos, dan lahan garapan) dan
skema Perhutanan Sosial. Dalam sub bab berikutnya, penulis berusaha
mengurai dan mendudukkan persoalan tersebut dari sisi problem hukum
dan praktik kebijakan di lapangan. Kajian ini bepretensi untuk menjawab
bagaimana logika berfikir ATR/BPN dan KLHK dengan melihat substansi
persoalan yang diperdebatkan dan bagaimana menemukan titik temunya.
119