Page 112 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 112
M. Nazir Salim, Trisnanti Widi R, Diah Retno W.
da Menteri Agraria untuk diselesaikan (Pasal 2 UU No.
76/1957). Dalam keterangan lebih lanjut sebagaimana
dijelaskan dalam Memori Penjelasan UU Darurat No. 76
Tahun 1957, “Pemberian hak-hak atas tanah dan penga-
wasan terhadap pemindahan hak adalah menjadi la-
pangan pekerjaan dan tanggung jawab Kementerian
Agraria. Karena kekuasaan ini adalah kekuasaan yang
berhubungan erat dengan soal hak tanah, maka sudah
sewajarnya kalau kekuasaan Menteri Kehakiman atas
tanah diserahkan kepada Menteri Agraria” (Memori Penje-
lasan UU Darurat No. 76/1957 tentang Perubahan UU RI
No. 24/1954 dan UU No. 28/1956). Di sisi lain, dalam kon-
teks kelembagaan, Jawatan Pendaftaran Tanah yang sebe-
lumnya ada di bawah Kementerian Kehakiman pada
tahun 1957 lewat Keppres No. 190/1957 telah dipindahkan
ke Kementerian Agraria (Salim et al., 2014).
Setelah Kementerian Agraria terlibat dalam proses
pengawasan harta benda warga negara Belanda yang
terkait dengan tanah, di antaranya hak erfpacht, eigendom,
atau opstal maka pada tahun 1958 kemudian pemerintah
mengeluarkan UU No. 1/1958 tentang Penghapusan
Tanah-tanah Partikelir dan PP No. 18/1958 tentang aturan
pelaksanaannya. Keberadaan tanah partikelir dianggap
sangat tidak menguntungkan bagi masyarakat pedesaan,
khususnya petani Indonesia pasca merdeka. Oleh karena
itu semangat yang ingin dibangun dalam UU Peng-
hapusan Tanah Partikelir adalah: Tanah partikelir dengan
hak-hak pertuanannya di dalam wilayah Republik Indo-
nesia, adalah bertentangan dengan asas dasar keadilan
sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan negara.
76

