Page 241 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 241
Politik Kelembagaan Agraria Indonesia
memindahkan penduduk Karesidenan Kedu, Jawa
Tengah ke Gedong Tataan, Lampung pada tahun 1905.
Mereka kemudian membangun desa di Lampung dengan
nama Bagelen, seterusnya program berlanjut untuk Suma-
tera Selatan, Bengkulu dan awal 1920-1930 dibuka untuk
Kalimantan dan Sulawesi (Levang, 2003; Otten, 1986).
Program transmigrasi kemudian dilakukan secara masif
dan Orde Baru menempatkan kebijakan transmigrasi
menjadi isu utama sebagai salah satu “pengganti” land-
reform yang gagal (Dirjen PKPPT, 2015; Levang, 2003).
Kebijakan Transmigrasi masa Orde Baru telah meli-
batkan banyak stakeholder atau lintas sektor, sementara
Dirjen Agraria memiliki peran sentral dalam hal pengelo-
laan lahan, misalnya pencadangan tanah dan menentukan
daerah transmigrasi lewat Direktorat Tata Guna Tanah,
pengukuran dan pemetaan land use, pengukuran keliling
batas, penyelesaian hak pengelolaan, pengkaplingan/
rincikan per bidang, dan pemberian hak/sertifikat tanah
(Hamid, 1968; Salim, 2019). Peran sentral tersebut dipe-
rankan oleh Dirjen Agraria sesuai tupoksi masing-masing
lembaga, namun pekerjaan proyek tersebut tetap di bawah
koordinasi Kementerian Transmigrasi dan Koperasi. Wa-
laupun bukan pihak yang menjalankan proyek utama,
peran Dirjen Agraria dari sisi pekerjaan sangat krusial,
bahkan lebih besar dari sektor lain karena harus bertang-
gung jawab terhadap penyediaan tanah sampai terbitnya
sertifikat hak atas tanahnya. Dirjen Agraria tidak memiliki
tupoksi transmigrasi atau ruang khusus di dalam kantor
agraria dari pusat hingga daerah, namun pekerjaan
205

