Page 17 - E-MAGAZINE PENCEMARAN LINGKUNGAN BERBASIS PROBLEM BASED LEARNING
P. 17

Setelah beberapa pohon ditanam, kami pun melanjutkan perjalanan
      mencari tempat lain untuk ditanami. Pada saat menyusuri jalan, kami
      melewati sungai yang lumayan panjang. Tetapi, sungainya sangat
      kotor, airnya juga keruh. Padahal, masyarakat sekitar selalu
      menggunakan air sungai ini  untuk mencuci pakaian, mandi, bahkan
      keperluan yang lain.

      “Itu sampahnya menumpuk di sudut sana.”
      Pandangan kami tertuju pada tumpukan sampah yang tingginya lebih
      dari tiga hasta di tepi sungai. Tidak jauh dari tumpukan sampah itu, ada
      seorang laki-laki paruh baya yang sedang duduk termenung.

      “Pak, sedang apa di sini?” temanku memberanikan diri bertanya.
      “Bapak hanya duduk santai sambil menikmati suara air sungai dan
      berteduh di pohon rindang ini, Nak.” ucap Bapak itu pelan sembari
      menatap sayup ke arah kami.
      “Bapak sering duduk di pinggiran sungai ini?” tanyaku penasaran.
      “Iya, Nak. Bapak cukup sering di sini.”
      “Sejak kecil Bapak tinggal di tepi sungai ini?”

      Bapak itu mengangguk, “Dulu, sungai ini bersih, indah. Anak-anak
      senang bermain di sungai ini. Tapi, sekarang semuanya berubah.”
      suaranya meninggi.

      “Bapak tahu mengapa air sungai ini keruh dan berbau?”
      Sepasang mata Bapak itu berkaca-kaca.

      “Pabrik itu yang melimpahkan limbah ke sungai ini. Sayangnya
      penduduk tidak ada yang berani memberontak. Semua dibungkam.
      Mereka dibayar dengan uang atau ada juga yang dipekerjakan di sana.
      Bapak sendiri yang memberontak.”
      “Tetapi, apa tidak ada korban, Pak?”
      “Banyak. Anak-anak kecil di tepi sungai ini keracunan. Sakit. Kami
      tidak punya sumber air yang bersih karena semua tercemar.”
      “Pemerintah, Pak? Tidak tahu soal ini?”
      Ia terdiam.

      “Kalian pasti lebih mengetahui soal itu.”
      “Keluarga korban tidak ada yang menuntut, Pak?”
      “Sudah berkali-kali, Nak. Tetapi nihil. Perusahaan itu lebih kuat dari
      kami yang cuma pedagang kecil. Kami tak berdaya lagi. Akhirnya,
      kami harus merelakan begitu saja, anak-anak kami sakit hingga
      meninggal.”

      Suaranya lirih. Matanya berlinang. Ia tak sanggup menyembunyikan
      perasaan sedihnya.
      Siang itu, seketika suasana haru dan begitu pilu. Kami yang
      menyaksikan sendiri bagaimana kehilangan mencabik-cabik hati Bapak
      itu. Semua karena polusi. Alam ini rusak. Anak-anak yang jadi korban.      Karya : Mei Elisabet Sibarani

      “Kalian lanjutkan perjuangan, Nak. Bapak masih berusaha mengobati
      kehilangan anak Bapak di Sungai ini.”





    13
   12   13   14   15   16   17   18   19   20   21   22