Page 186 - The Survifers - XII IPS 2 - Paperslab
P. 186

Tupperware  itu  tidak  berat  karena  ketika  tutupnya  kubongkar  hanya
           terdapat dua lembar roti lapis berselaput mayones berlebih. Sebagian bahkan
           menggenang di dasar kotak saking banyaknya. Aku tidak sedang lapar, tetapi
           tahu-tahu  saja  produksi  liur  di  dalam  mulutku  mengalami  percepatan  gila-
           gilaan. Ah, apalah artinya makan siang dengan nasi dan telur dadar kebanyakan
           garam  dan  kecap  manis  dibandingkan  roti  lapis  gemuk  yang  disedekahkan
           cuma-cuma begini.

                 Aku tergesa-gesa  melepas ucapan terima kasih. Menggunakan sehelai
           tisu  yang  selalu  tersedia  di  saku  kemeja  untuk  mengambil  sepotong  roti.
           Rasanya  masih  seenak  terakhir  kali aku  menyantap  kudapan  yang sama dari
           Bude Ratna—istri Pak Sadil. Ceritanya terlalu rumit untuk kututurkan sembari
           makan. Tapi, singkatnya,  sewaktu  muda, Pak  Sadil, Bude  Ratna, dan Bapak
           adalah mahasiswa di kampus dan fakultas yang sama. Pak Sadil memulai studi
           satu tahun lebih awal daripada Bude Ratna dan Bapak tetapi ketiganya  lulus
           bersamaan.
                 Aku tidak tahu bagaimana persisnya jalinan persahabatan mereka, yang
           jelas ketiganya masih cukup dekat hingga berpuluh tahun kemudian. Kedekatan
           yang membawa mereka rutin mengunjungi rumah  satu  sama  lain  pada  libur-
           libur  panjang,  saling  berdiskusi  mengenai  pendidikan  anak  masing-masing,
           hingga  puncaknya  Pak  Sadil  mendampingi  Bapak  menghadapi  kasus  pidana
           pertamanya ini.

                 Aku mengerang lirih tiap kali merasakan tekstur salmon yang matang
           sempurna,  atau  lelehan  mayones  yang  berpadu  dengan  daun  bawang,  juga
           sentuhan lada yang menimbulkan rasa terbakar di mulut. Semenjak dua minggu
           terakhir  rutin  mengonsumsi  telur  ceplok  dan  tempe  goreng  tepung  yang
           berminyak, roti lapis dari Bude Ratna tiba-tiba  saja sebanding dengan  menu
           restoran bintang lima.

                 Dua potong roti lapis asap salmon itu amblas ke perutku dalam waktu
           singkat.  Aku  menutup  mulut  dengan  punggung  tangan,  menyembunyikan
           serdawa  kecil.  Pak  Sadil  dengan  setia  menungguiku  selesai  makan  sambil
           menyibukkan  diri  membaca  berkas-berkas.  Ada  setitik  haru  yang  menyebar
           dan membesar begitu saja di hatiku.

                 “Udah selesai  makannya?” Pak Sadil  mengintip kotak di pangkuanku
           yang  tinggal  menyisakan  jejak-jejak  mayones  dan  serpihan  daun  bawang  di
           bagian dasar.

                 Aku mengangguk sambil memberi pujian setulus hati.
                 “Ya sudah, sini masukkan ke keresek lagi Tupperware-nya.”

                 Nyatanya,  Pak  Sadil  tidak  menungguiku,  ia  menunggu  Tupperware
           yang kugunakan untuk alas makan.
                                                                       176
   181   182   183   184   185   186   187   188   189   190   191