Page 67 - UKBM BIN XI Genap 2021
P. 67
KEGIATAN BELAJAR 2
Bacalah teks resensi berikut!
TEKS 2
Menangkal Kekerasan atas Anak-Anak Lewat Puisi
Judul : Memo Antikekerasan terhadap Anak
Penulis : 194 Penyair Indonesia
Penerbit: Forum Sastra Surakarta
Cetakan : September, 2016
Tebal : 384 halaman
Anak-anak adalah masa depan bangsa. Menyelamatkan mereka sama saja menyelamatkan
bangsa ini ke depannya melalui gerakan moral bersandar pada laku kebudayaan. Itulah
cuplikan pengantar dari antologi puisi yang ikut serta ambil bagian menyelamatkan anak-anak
dari kekerasan (baik secara psikis dan fisik) lewat puisi-puisi.
Akhir tahun 2016 lalu bangsa kita seolah dikejutkan dengan berbagai macam berita
mengenai kekerasan terhadap anak. Setiap hari di berbagai sudut kehidupan berita kekerasan
berkarib dengan masyarakat. Televisi, radio, koran, hingga mulut orang-orang terus
membahasnya. Anak-anak pun dibiarkan begitu saja menjadi korban.
Maraknya kekerasan terhadap anak menjadikan hak-hak anak seolah tidak lagi
dipedulikan. Mereka dipaksa bekerja mencari uang, dijebak menjadi pengemis, diperjualbelikan
hingga menjadi korban pencabulan sampai pembunuhan. Coba camkan puisi berikut! “Nak,
tahukah kau, apa yang kau lakukan di sini? Kau disuruh jualan koran di pinggir jalan. Katanya
sambil bermain-main, tapi mana uangnya? Kau hanya diberi sebungkus nasi untuk mengganjal
perutmu. Hanya nasi dan sayur.” Puisi tersebut menjelaskan hak seorang anak telah dirampas
paksa oleh orang-orang dewasa yang tidak bertanggung jawab. Sering kali mereka tampak
secara langsung di jalan-jalan raya sekitar lampu lalu lintas. Peristiwa perampasan hak masih
terjadi. Padahal, mereka tetaplah anak-anak lugu yang terkadang hanya mematuhi perintah dan
menjauhi larangan orang-orang tidak bertanggung jawab.
Diharapkan dengan adanya buku ini bisa menggerakkan hati pemerintah untuk turut
serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak-anak, bukan hanya merumuskan UU
perlindungan anak. Harapannya, anak-anak tidak lagi menjadi korban dekadensi moral bangsa.
“Dalam bilik sempit ini aku hanya berteman air mata, terpenjara di rumah sendiri,
mendengarkan tik tak sepi. Kadang-kadang menjerit merasakan cambuk di punggung. Saat
kutumpahkan secangkir kopi di atas meja, sebab limbung dirajam lapar.” Puisi berjudul “Air
Mata” ini terlihat jelas menggambarkan seorang anak menjadi korban tindak kekerasan orang
tuanya sendiri. Mereka tidak bisa melawan. Mereka hanya berharap dan menunggu keajaiban
datang.
Ada 194 penyair dari seluruh Nusantara berpartisipasi mengisi buku ini. Dengan berbagai
latar belakang, tetapi memiliki satu tujuan menyerukan untuk tidak menyetujui, menolak keras
kekerasan terhadap anak. Antologi ini merupakan lanjutan dari buku sebelumnya, Memo untuk
Presiden dan Memo untuk Teroris. Buku tersebut saling berkaitan. Isinya menolak
penyimpangan masyarakat.
Di antara kekerasan terhadap anak dilakukan orang tua dengan tidak memperhatikan
mereka. Kekerasan tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi bisa juga melalui kata-kata. Dengan
adanya buku ini, setidaknya ada harapan bisa memutus mata rantai kekerasan terhadap anak,
menjauhkan dari hal-hal yang bisa membuat tertekan dan tidak nyaman. Dengan demikian,
anak-anak bisa benar-benar terlindungi oleh negara dan seluruh lapisan masyarakat.
6
UKBM 3 BIN SEMESTER 4