Page 129 - Mereka yang dikalahkan Perampasan Tanah dan Resistensi Masyarakat Pulau Padang
P. 129
Mereka yang Dikalahkan 103
pemahaman masyarakat dibiarkan dan terus berlangsung, karena
banyak warga meyakini yang dikeluarkan oleh kepala desa tersebut
SKT, padahal seharusnya hanya bukti penguasaan fisik karena telah
mendiami atau menguasai lahan tersebut.
Dengan dasar itu juga kemudian dikeluarkan Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) dan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) oleh pemerintah daerah. Bagi warga, membayar
pajak bumi artinya memiliki tanah, apalagi jelas mereka menguasai
sepenuhnya atas tanah tersebut. Hal ini pula yang diyakini oleh
mayoritas warga Pulau Padang, dan tentu saja negara tidak berhak
menyalahkan cara berfikir warga karena apa yang warga kerjakan
adalah bagian dari menjalankan kehidupan berbangsa dan
menempati wilayah secara sah negara Indonesia. Secara esensi,
negara tidak bisa semena-mena mencabut hak warga atas upaya dan
kerja kerasnya yang sudah membuka lahan, membangun wilayah,
dan membangun kehidupan bermasyarakat.
Secara de facto, SKT sampai beberapa tahun terakhir diakui
sebagai “produk” yang sah sebagai bukti keterangan penguasaan
tanah, bukan keterangan hak milik. Hal itu memang tidak diketahui
oleh semua masyarakat, banyak warga mengira SKT sebagai surat
hak kepemilikan dan penguasaan tanah secara penuh. Namun
demikian, sebagaimana PP 24/1997 Pasal 41 Ayat 4 yang mewajibkan
melampirkan bukti hak penguasaan dari kepala desa setempat
jika ingin mendaftarkan atau melakukan jual beli sebagai dasar
alat bukti minimal penguasaan, sehingga SKT dimaknai sebagai
bukti hak milik yang sah. Dasar inilah yang dipegang oleh kepala
desa sehingga merekomendasikan penerbitan SKT dari camat,
namun tidak dibarengi dengan pemahaman secara akurat tentang
tata ruang maupun sosialisasi dari kehutanan. Sehingga seringkali
terjadi, di atas lahan hutan alam, terbit SKT milik warga. Kini, apa
yang terjadi di sebagian besar Sumatera, setelah ramai dan semakin