Page 8 - Janji Di Ujung Jarak (Season 1)
P. 8
Pipi Aip terasa memanas. Ia menunduk lagi, berharap Asep tak melihat rona merah di wajahnya.
“Hehe, makasih, Sep.”
Seblak mereka datang, mengepul panas dengan aroma yang menggoda. Asep langsung mengambil
sendoknya dan mencicipi seblaknya yang pedas level lima. Ia meringis kecil, tetapi tetap
melahapnya dengan semangat.
“Gila, pedes banget,” ujarnya sambil tertawa, napasnya sedikit memburu.
Aip tersenyum melihat ekspresi Asep. “Tadi katanya kurang pedes?” godanya pelan.
“Kurang pedes sih, tapi ya nggak nyangka bakal sepanas ini,” balas Asep sambil menyeruput es teh.
Melihat Asep menikmati makanannya membuat Aip merasa lebih rileks. Ia ikut mencicipi seblaknya,
menikmati rasa pedas yang menggigit lidahnya meski hanya level satu. Sesekali mereka bertukar
pandang dan tersenyum tanpa banyak kata.
Ketika mereka hampir selesai makan, Asep menyeka mulutnya dengan tisu, lalu menatap Aip
dengan serius.
“Aip, makasih ya mau ketemu sama aku. Aku seneng banget malam ini.”
Aip mengangkat pandangannya, mata mereka bertemu lagi. Hatinya bergetar mendengar ucapan
itu. “Aku juga seneng, Sep. Makasih udah jemput aku.”
Asep mengangguk, senyumnya lembut. “Ya, nggak masalah. Kapan pun kamu butuh dijemput,
bilang aja.”
Malam semakin larut, tetapi suasana hati Aip terasa terang. Ia tak pernah menyangka pertemuan
sederhana di warung seblak bisa memberikan kebahagiaan yang begitu tulus. Di perjalanan pulang
nanti, ia tahu kecanggungan mungkin akan muncul lagi. Namun, ia juga tahu bahwa setiap detik
bersama Asep adalah momen yang akan ia simpan baik-baik di hatinya.
---
Perjalanan Pulang yang Tak Ingin Berakhir
Setelah membayar seblak, Aip dan Asep berjalan menuju motor yang terparkir di bawah
lampu jalan yang remang-remang. Udara malam semakin dingin, menusuk kulit dengan lembut.
Aip menyilangkan tangannya di dada, mencoba menghangatkan diri. Asep melirik ke arah Aip dan
langsung menyadari raut wajahnya yang sedikit kedinginan.
“Dingin, ya?” tanya Asep sambil membuka resleting jaket abu-abunya.
Aip menggeleng kecil, meski tubuhnya jelas menggigil. “Enggak kok, aku kuat.”
Asep tersenyum tipis, lalu tanpa banyak bicara, ia melepas jaketnya dan mendekatkannya ke bahu
Aip. “Udahlah, pake ini. Jangan maksa kuat kalau dingin.”
Aip ragu sejenak, tapi akhirnya membiarkan Asep menyampirkan jaket di bahunya. Jaket itu masih
menyimpan kehangatan tubuh Asep, dan aromanya yang segar membuat jantung Aip berdebar
lebih cepat.
“Makasi ya, Sep,” bisik Aip pelan, suaranya hampir tenggelam di tengah angin malam.
“Bilang aja kalau butuh apa-apa,” balas Asep lembut.
Mereka berdua naik ke motor. Aip kembali duduk di belakang, dengan jaket Asep membalut
tubuhnya. Motor mulai melaju pelan di sepanjang jalan yang dihiasi lampu jalan berwarna
kekuningan. Udara dingin membuat Aip semakin menggenggam ujung jaket Asep dengan erat.
Asep menyadari genggaman itu. Tanpa mengatakan apa pun, ia mengambil tangan Aip dan dengan
lembut memindahkannya ke depan, di sekitar pinggangnya.