Page 58 - MODUL FIX_Neat
P. 58

kami akan ke Medan tepatnya Tapanuli Utara dan menuju ke salah satu tempat
                 kampong  bernama  ―Siborong-borong‖  tempat  ayahku  menatap  indahnya  bumi
                 dan melihat kegemerlapan malam. Aku mulai menyesuaikan diriku dengan tempat
                 ini, tempat yang asri, budaya yang sangat pekat dan kental dan keramahan.
                     Namun,  ada  sesuatu  yang  ganjal  dihati,  ada  seperti  yang  mengikutiku
                 kemanapun aku pergi, taka da yang ta akan apa yang terjadi pada diriku saat itu
                 karena aku tak mau siapapun tau. Wujud itu sepertinya tak terlihat, melayang, dan
                 menciptakan  hawa-hawa  kehidupan  yang  sangat  berbeda  dengan  kita.  Aku  tak
                 pernah merasakan ini sebelumnya. Aku tahu ada yang tak benar dalam diriku dan
                 sosok  itu.  Ingin  sekali  rasanya  aku  menjauhi  wujud  itu,  tapi  rasanya  aku  sudah
                 terikat dan tergembok. Setiap aku inginmelaporkan kejadian ini, seperti ada yang
                 menarikku untuk tetap berdiam diri dan rasakan kehebatan yang ia buat.
                     Apa yang kualami itu sebenarnya adalah deras angin di Tapanuli, kalau kamu
                 mengira itu adalah makhluk lain dari dunia berbeda dengan kita kamu salah, itu
                 adalah  angin.  Berhembus  seraya  menembus  dengan  saangat  kencang,  menusuk
                 setiap  inci  tubuhku,  aku  tak  pernah  merasakan  angin  yang  sejuk  itu  di  Jakarta,
                 sepertinya hanya di Siborong-borong aku rasakan angin sejuk seperti itu. Udara
                 semakin  melonjak  mengeluarkan  kedinginannya  saat  matahari  enggan
                 menampakkan  wajahnya.  Rasanya  seperti  aku  tinggal  ditempat  bersalju  namun
                 bagian Sumatera.
                     Acara  di  Siborong-borong  untuk  memindahkan  tulang  belulang  kakek
                 nenekku  dari  Jakarta ke  kampung  dan  disatukan  dengan  para leluhurnya dalam
                 suatu bangunan rumah kecil, itu adalah salah satu budaya suku Batak.

                 Aku belajar banyak dari orangtuaku tentang budaya Batak.
                    Ritual  budaya  seperti  ini  ada  setelah  seseorang  sepuluh  tahun  pergi
                 meninggalkan  dunia.  Aku  tiba  di  di  kampung  pukul  lima  pagi  dan  acara  pukul
                 tujuh  pagi,  jadi  kami  langsung  ke  sebuah  rumah  panggung  tempat  kediaman
                 keluarga kami di kampung yang kami sebut sebagai ―Nyamane‖. Saat sampai di
                 Nyamane aku langsung beristirahat, beberapa keluarga dan saudaraku ada yang
                 bermain-main ada yang langsung mempersiapkan diri untuk acara. Aku mengaku
                 bahwa aku tak terlalu serius dalam mengikuti acara ini, karena aku tak mengerti
                 bahsa  batak,  bahasa  yang  digunakan  jutaan  umat  suku  Batak,  khususnya  di
                 wilayah Sumatera Utara.
                     Acara di tempat ini sama seperti ketika aku melihat kotak hitam misteri di awal
                        ceritaku. Matahari dengan bangga menampakkan dirinya, bersahut-sahutan
                      dengan angin deras yang melanda. Saat pemindahan tulang-belulag itupun
                 sangat sunyi, karena semua orang menghargai dan menghayati peristiwa tersebut.
                       Namun, di awalnya ada seperti puji-pujian, aku tak mengerti apa maksudnya
                 memuju benda tulang seperti itu. Peristiwa itu disebut ― Mangukol-Holi‖. Aku pun
                 baru  tahu  ada  tradisi  seperti  ini  setelah  diberitahu  orangtuaku.  Sesudah
                      memindahkan tulang-belulang, kami langsung meluncur ke salah satu tempat
                 makan  terdekat  karena  perut  kami  bergelojak  dan  cacing  caing  diperut  sudah
                         berteriak dengan ricuh meminta jatahnya. Setelah itu, kami kembali lagi ke
                       Nyamane.  Aku  seperti  mengalami  mesin  waktu  saat  tinggal  di  Nyamane.
                 Pemandangan yang asri, para warga kampung yang tetap ramah pada pendatang
                 baru seperti kami, semua terlihat sanagt alami dan belum terjamah tangan-tangan
   53   54   55   56   57   58   59   60   61   62   63