Page 537 - MODUL FLIPBOOK PKn X-XII LENGKAP
P. 537

LAMPIRAN 2
            BAHAN BACAAN GURU DAN PESERTA DIDIK
            Agar Diskriminasi Tak Ada Lagi
            Tahun 1992, untuk pertama kalinya, Indonesia meraih medali emas pada perhelatan olahraga terbesar
            dunia, Olimpiade. Momen 4 tahunan yang ketika itu diselenggarakan di Barcelona, Spanyol, benar-
            benar membuat seluruh bangsa Indonesia berbangga. Kontingen Indonesia tidak hanya mendapatkan
            satu, tetapi dua medali emas.

            Sepasang medali emas itu disumbangkan oleh atlit dari cabang Badminton yang memang menjadi
            andalan. Kelak, kedua penyumbang medali emas itu menjadi pasangan suami-istri. Mereka adalah Alan
            Budikusuma dan Susi Susanti. Sejak keikutsertaan Indonesia di pentas Olimpiade pada 1948, baru
            tahun 1992 itulah negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia ini mendapatkan emas.
            Namun, ada kisah tidak mengenakkan yang diterima oleh Susi dan Alan pada masamasa itu bahkan
            mungkin hingga sesaat setelah reformasi. Sebagai warga keturunan Tionghoa, keduanya pernah
            mengalami masa sulit berkaitan dengan dokumen Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia
            (SBKRI). Dengan menunjukkan SBKRI, itu artinya, mereka seperti orang asing yang datang ke
            Indonesia dan akan menjalankan naturalisasi. Setiap warga Tionghoa disyaratkan harus memiliki
            SBKRI untuk mengurus segala jenis dokumen.

            SBKRI menjadi dokumen penting, terutama bagi etnis Tionghoa, karena dengan itulah mereka baru
            bisa mengurus paspor dan bukti kewarganegaraan lainnya. Dan itu sekali lagi, hanya berlaku bagi
            kalangan etnis Tionghoa. Ini artinya bahwa sudah saatnya memutus lingkaran setan prilaku
            diskriminatif ini.
            Jadi akar persoalan tentang diskriminasi ini adalah SBKRI. Tak heran ketika muncul peraturan yang
            esensinya menjelaskan bahwa berbagai kepentingan yang memerlukan bukti kewarganegaraan, cukup
            menggunakan KTP, Kartu Keluarga, atau Akta Kelahiran, ekspektasi akan hilangnya diskriminasi itu
            muncul ke permukaan. Susi Susanti pernah berujar, ”kalau ’kami-kami ini’ (sejumlah olahragawan
            bermedali emas) bisa diperlakukan tidak adil begitu, bagaimana nasib orang-orang lain yang jauh lebih
            miskin dan kurang dikenal”. (Kompas 2/5/2004).

            Angin segar kemudian berhembus saat pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor 56
            Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Instruksi Presiden Nomor 4
            Tahun 1999 tentang Melaksanakan Ketentuan Keputusan Presiden Nomor 56 tahun1996 tentang bukti
            kewarganegaraan Republik Indonesia dan Instruksi Presiden nomor 26 tahun 1998, Direktorat Jenderal
            Imigrasi kemudian mengambil kebijakan untuk tidak mempermasalahkan lagi SBKRI bagi pemohon
            paspor dari kalangan etnik keturunan.
            Sebagai gantinya, mereka cukup melampirkan Akta Kelahiran dan Kartu Tanda Penduduk serta Kartu
            Keluarga. Sekarang, fasilitasi terhadap kelompok Tionghoa sudah jauh lebih baik. Cerita yang
            berkaitan dengan diskriminasi terhadap kelompok ini, jikapun tetap masih ada, lebih banyak pada relasi
            horizontal. Reformasi birokrasi dan komitmen pemerintah jauh untuk memenuhi hak warganegaranya
            tanpa pandang bulu menjadi salah satu cara menghilangkan diskriminasi.
            Ada hal menarik yang penting untuk ditarik pelajaran, terutama dari pasangan Alan dan Susi.
            Betapapun persoalan mendera, tetapi, mereka tak pernah luntur semangat nasionalisme. Mereka tidak
            berpikir untuk berpindah kewarganegaraan misalnya. Cara terbaik seperti yang ditunjukan keduanya
            adalah menunjukkan prestasi pada bidangnya masing-masing.



            LAMPIRAN 3
            GLOSARIUM
            •  Batas Wilayah: Garis batas yang merupakan pemisah kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas
               hukum internasional.
            •  Big Data: Dalam Bahasa Indonesia biasa disebut Mahadata. Kata ini merujuk pada kumpulan data
               yang sangat besar yang dapat dianalisis secara komputasi untuk mengungkapkan pola, tren, dan
               asosiasi, terutama yang berkaitan dengan perilaku dan interaksi manusia.
            •  Blok Ambalat: Suatu wilayah perairan di perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, tepatnya di di
               Laut Sulawesi atau Selat Makassar dan berada di dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah,
               Malaysia, dan Kalimantan Timur. Wilayah ini memiliki luas 15.235 kilometer persegi dan kaya



                                                             180
   532   533   534   535   536   537   538   539   540   541   542