Page 34 - KLIPINGBELMAWA30092019SORE
P. 34

tumpah ruah di jalanan. Memang, tidak ada korelasi langsung antara kemungkinan terjadinya amuk massa dengan frekuensi diskusi akademik, namun adab dan budaya yang demokratis sangat mungkin dibangun melalui diskusi yang terbuka. Inilah salah satu fungsi pendidikan tinggi. Yang lebih mengherankan, bahkan dosen senior pun masih terganjal kultur akademik yang represif. Kasus terakhir dialami oleh seorang dosen di Unsyiah Kuala (Aceh) yang mempertanyakan hasil tes dosen CPNS dan justru dilaporkan oleh dekan Fakultas Teknik tempat ia bernaung. Jika catatan ini ditambah dengan banyaknya pembubaran paksa diskusi akademik di berbagai universitas (atau forum lainnya), maka terlihat bahwa dialog yang terbuka dengan topik sesensitif apapun, kerap ditanggapi dengan represi. Dengan catatan tersebut, terlihat bagaimana deretan universitas dengan otonomi ini terbukti membatasi kegiatan akademik dan kebebasan berekspresi di dalam lingkup kampus. Ironi ini kerap dibenarkan oleh pihak universitas dengan dalih menjaga keamanan dan mengawal moral masyarakat. Di saat yang sama, moralitas dalam bentuk transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan tidak pernah dipertanggungjawabkan kepada publik, terutama mahasiswa. Dalam lingkup universitas, rektor seharusnya lebih berperan dalam hal ini. Bukan untuk berdialog mengenai masalah nasional, tetapi untuk membuka tabir di universitas masing-masing. Budaya mimbar bebas dan refleksi kritis dimulai di sini. Dengan demikian, bagi para mahasiswa, jika rektor membuka kesempatan untuk berdialog, jangan tunda-tunda. Rebut kesempatan tersebut untuk meminta perbaikan tata kelola universitas. Tuntut transparansi pengelolaan dana di universitas. Tuntut transparansi rekrutmen dosen. Tuntut transparansi transparansi pemilihan rektor. Semua pihak berbicara mengenai tata kelola pemerintahan yang baik, namun jarang sekali tata kelola universitas diangkat secara komprehensif dalam diskursus publik. Hanya dua hari setelah presiden Jokowi meminta Menristekdikti untuk berdialog dengan mahasiswa, Kaukus Kebebasan Akademik Indonesia mengeluarkan tanggapan atas langkah tersebut. Pada intinya, mereka mengingatkan pentingnya memelihara tradisi berpikir kritis dan kebebasan akademik di Indonesia. Sejujurnya, tradisi tersebut tidak pernah terbangun. Baca juga: Menristekdikti Ancam SP2 Rektor yang Terlibat Demo Mahasiswa Yang lebih terekam dalam benak komunitas akademik (dan senantiasa kita ingat dalam banyak polemik) adalah hari-hari penuh pengawasan di era Orde Baru dalam bentuk kebijakan NKK/BKK. Dengan demikian, jika publik bertanya mengapa demonstrasi kerap berujung ricuh, maka pertanyakan lebih dahulu kapan kita pernah berdialog dengan adab dan akal? Pernahkah dialog yang setara terjadi antara rektor dengan mahasiswa? Atau, yang lebih menyesakkan bagi para dosen, antara mahasiswa dengan dirinya? Ada banyak informasi menarik yang muncul seputar relasi mahasiswa dengan universitas di tengah hari-hari penuh demonstrasi. Beberapa universitas mengeluarkan himbauan bagi mahasiswa untuk tidak menghadiri demonstrasi. Beberapa mengingatkan untuk tidak menghadiri, namun masih ada juga universitas (sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta) yang dengan tegas melarang mahasiswanya untuk demonstrasi hingga diancam dengan hukuman drop out alias diakhiri keikutsertaannya dalam studi. Cara-cara seperti ini masih saja diterapkan meski kita berada dalam situasi yang konon lebih demokratis ketimbang Orde Baru. Dalam hal ini, langkah Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta yang mengizinkan para mahasiswanya untuk turut serta dalam aksi minggu lalu patut


































































































   32   33   34   35   36