Page 13 - KLIPINGDIKTI
P. 13

dengan Hak Asasi Manusia. Dalam hemat kami, publikasi tulisan itu mungkin sudah setidaknya menghancurkan reputasi peneliti Indonesia. Berikut kami sajikan beberapa pendapat ilmiah (klaim) yang tidak berdasar yang sudah dilakukan oleh saudara Gumilar di tulisannya beberapa waktu lalu tersebut.
Klaim 1: Tanpa memberikan alasan yang jelas dan runtut kepada pembaca, ia langsung saja menghubungkan kejahatan seksual (yang dilakukan oleh Reynhard Sinaga (RS)) dengan orientasi seksualnya. Hal ini jelas-jelas salah kaprah dan tidak berdasar. Secara global, mayoritas pemerkosa adalah heteroseksual. Maka pertanyaan yang muncul: Saat kasus perkosaan oleh heteroseksual terjadi, mengapa tidak ada yang menghubungkan kejahatan ini dengan orientasi seksual mereka?
Klaim 2: Ia telah melakukan "tebang pilih" (cherry-picking, yaitu mengambil sebuah argumentasi dari sebuah tulisan secara parsial demi kepentingan penulis, tanpa melihat secara keseluruhan isi dari artikel tersebut). Dalam tulisannya, Gumilar mengutip sebuah jurnal ilmiah karya Sylva et al (2013) untuk mendukung klaimnya tentang peningkatan jumlah kriminalitas para gay di beberapa tahun belakangan.
Setelah membaca dengan seksama, kami tidak menemukan klaim dari penelitian Sylva yang berkaitan dengan hal ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain, isi dari penelitian itu sangat jauh dengan apa yang sudah diungkapkan oleh saudara Gumilar.
Dampak dari tulisan itu, menurut hemat kami, telah mengubah arah kasus. Kasus RS seharusnya dilihat murni sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan, atau sebuah tindakan kriminal, bukan yang lainnya. Selain bahwa tulisan saudara Gumilar ini tidak memiliki dasar ilmiah cukup yang kuat, kami juga melihat bahwa pembaca tidak diberikan penjelasan yang cukup atas kesimpulan yang disajikan.
Setidaknya untuk kami, sebagai seorang pembaca awam dalam bidang neuropsikologi atau psikologi syaraf, kami sama sekali tidak menemukan argumentasi yang solid dan runtut di mana kami diberikan penjelasan mengapa RS bisa menjadi seorang pemerkosa, misalnya. Pertanyaan yang muncul dalam benak kami tentang kekerasan psikologis macam apa yang mungkin pernah RS alami yang mungkin mempengaruhi syarafnya sehingga ia bisa menjadi pemerkosa yang tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali, yang ditinjau dari sisi psikologi (di mana kami menduga bahwa ini adalah setidaknya bidang yang dikuasai oleh saudara Gumilar), tidak kami temukan.
Alih-alih diberikan sebuah penjelasan, para pembaca langsung dibawa dan diadvokasi untuk percaya bahwa kejahatan itu murni dilakukan semata-mata karena orientasi seksual RS. Kami percaya, dalam dunia penulisan artikel ilmiah termasuk pendapat dari ahli, sebuah


































































































   11   12   13   14   15