Page 3 - KLIPINGBELMAWA26032019(sore)
P. 3
Sebagai penulis cerpen tersebut, Yael menganggap harusnya pihak kampus membuka diskusi untuk membedah isi cerpen. Bukan malah mengambil keputusan yang terkesan gegabah dengan membubarkan kepengurusan.
"Rektor cuma mau sepihak aja. Kami pun mau ngasih pendapat, dipotong terus. Ini pengekangan bagi kami dan pembungkaman kebebasan pers," kecamnya.
Dalam karyanya, mahasiswa Departemen Antropologi Sosial Fisip USU menganggap sama sekali tidak mengampanyekan LGBT atau bahkan mendukungnya. Bahkan cerpen itu bukan merupakan ajakan kepada orang lain agar masuk ke komunitas LGBT.
Yael hanya ingin bercerita soal kondisi sosial diskriminasi terhadap LGBT. Perempuan berkacamata itu hanya berkampanye, supaya angka diskriminasi itu bisa ditekan.
Sejauh ini kampus hanya membubarkan kepengurusan. Mereka tidak memberikan sanksi akademis bagi para pengurus suara USU
"Tapi kemarin kami ditanya dari fakultas mana dan jurusan apa. Ngak tahu itu ancaman atau intimidasi," ungkapnya.
Suara USU pernah mengunggah tema cerpen serupa pada 2017 lalu. Tapi cerpen itu tak terdeteksi kampus. Cerpen milik Yael lah yang memicu kampus menelusuro karya-karya di laman suarausu.co.
"Itu yang membuat mereka menganggap kami ini nggak benar lagi. Sebab mempublikasikan seperti itu. Rektor tidak bisa terima pendapat kami," tukas perempuan berambut ikal itu.
Sampai saat ini Surat Keputusan pembubaran itu belum mereka terima. Namun mereka diberikan waktu dua hari pasca pertemuan untuk mengosongkan sekretariat yang terletak di Pintu 1, Jalan Universitas, USU.
Terpisah, Rektor USU Runtung Sitepu menegaskan, keputusan pembubaran kepengurusan media kampus itu diambil merujuk pada pertemuan pihaknya dengan Yael Cs. Menurut Runtung, tulisan itu sudah memicu reaksi publik. Polemik terjadi di kalangan mahasiswa, dosen, hingga masyarakat luas.
“Ini kan sangat mengganggu nama baik USU. 'Kenapa bisa jadi begini?' Itu yang saya tanyakan kepada mereka,” ujar Guru besar Fakultas Hukum USU tersebut.
Pihaknya juga sudah meminta pendapat kepada ahli sastra Haris Sutan yang ikut dalam pertemuan. Dalam pertemuan itu, sang ahli juga meradang. Karya sastra itu dianggap kuat mengandung unsur pornografi.
“Kalau (cerpen) dikonsumsi sendiri itu bisa. Tulislah cerpen seporno apapun, buat lukisan seporno apapun. Simpan di lacimu, kalau kau rindu baca itu bisa. Tapi jika diumumkan ke publik, bertentangan dengan hak cipta, apalagi dengan sekarang ini ada Undang-undang Pornografi,” tegasnya.
Lantaran pengurus tidak mengakui karya itu adalah sebuah kesalahan, maka kampus akhirnya membubarkan kepengurusan. Runtung khawatir perbuatan itu bisa terulang kembali pada masa yang akan datang dan merusak nama baik kampus.
“Bagi saya tidak mungkin saya pertahankan mereka menjadi pengelola Suara USU,” ujarnya.
Runtung juga sudah memerintahkan jajarannya untuk merekrut kepengurusan baru.