Page 3 - KLIPING BELMAWA (2 AGUSTUS 2019 - SORE)
P. 3

jurusan humaniora, lalu program studi eksakta. Aksi terorisme pertama kali dikaitkan dengan ruang kampus pada kelompok Pepi Fernando, otak pelaku teror bom buku dan bom Serpong pada 2011. Pepi adalah alumni Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain otak teror bom buku, ia disebut otak bom Cibubur yang menargetkan Presiden Ke-5 Susilo Bambang Yudhoyono. Terbaru adalah aksi teror bom keluarga di tiga gereja Surabaya. Pelakunya, Dita Oepriarto, dikaitkan pernah menjalani pendidikan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Kaitan ini berbarengan dengan isu dosen di ITS yang dituduh mendukung Hizbut Tahrir Indonesia. Baca juga: Pelaku Ledakan Bom Surabaya dan Sidoarjo Punya Guru yang Sama Kaum Cendekiawan Ekstremis Terorisme, buah radikalisme agama paling revolusioner, menurut cendekiawan muslim Azyumardi Azra, mulai berkembang ketika gerakan ini tak memiliki tandingan di ruang perguruan tinggi di saat apa yang disebut "kelompok Cipayung" kurang bertaji. Menurutnya, guna menangkal pemikiran paham Islam transnasional, kelompok-kelompok mahasiswa nasionalis macam HMI, PMII, PMKRI, GMNI dibantu negara untuk lebih aktif di kampus. “Memang ada kekhawatiran ada politisasi di kampus-kampus,” kata Azyumardi. "Tinggal mengatur mekanismenya supaya politisasi itu jangan berlebihan." Masykuri Bakri dan Anas Saidi dalam "Peta Radikalisme Agama di Indonesia" menyebut pertarungan gerakan radikalisasi agama memuncak pasca-Soeharto 1998. Gelombang demokrasi membangunkan elemen-elemen keagamaan setelah terkubur selama rezim otoriter Orde Baru. Baca juga: Apa Saja Tahap Radikalisasi Teroris? Corak keislaman yang biasa disebut sebagai garis keras seperti Dewan Dakwah Islamiyah, Hizbut Tahrir Indonesia, Negara Islam Indonesia—persilangan antara kultur Masyumi dan tradisi Ikhwanul Muslimin—mendapatkan simpati di kalangan kampus. Apalagi ketika organ-organ kampus lain tengah lesu. Berdasarkan penelitian di lima kampus di Jawa (UI, IPB, UGM, Unair, dan Unibraw), Bakri dan Saidi menyebut organisasi keislaman ini masuk ke kampus melalui masjid, salah satunya kelompok tarbiyah dan Hizbut Tahrir. "Tawaran ideologis kembali pada Alquran dan sunat secara murni dan konsekuen, sebagai pra-syarat menuju Islam kafah, merupakan jargon yang paling mudah diterima, tanpa membutuhkan argumentasi yang rumit,” tulis mereka. Azyumardi Azra dalam satu wawancara dengan Tirto berpendapat bahwa gerakan berpaham kanan akhirnya melahirkan bibit radikalisme. Guna menangkalnya, ia menyarankan agar pemimpin universitas mengawasi fasilitas kampus seperti masjid hingga ruang pertemuan mahasiswa. “Karena masjid, musala, dan bahkan student center itu bisa digunakan kegiatan- kegiatan radikal,” ujar Azyumardi. Baca juga artikel terkait RADIKALISME atau tulisan menarik lainnya Arbi Sumandoyo (tirto.id - Pendidikan) Reporter: Arbi Sumandoyo Penulis: Arbi Sumandoyo Editor: Fahri Salam
Baca selengkapnya di artikel "Paham Radikal dan Pertarungan Ideologi di Kampus Negeri",
https://tirto.id/cPvg


































































































   1   2   3   4   5