Page 6 - KLIPINGBPPT22052019PAGI
P. 6

Warga DKI lainnya, Khairul (21), juga memilih menyimpan limbah telepon seluler miliknya daripada membuangnya ke tempat sampah. Setidaknya, dia sudah mengoleksi enam ponsel yang sudah tidak dipakai karena rusak.
"Tapi kalau saya alasan lainnya siapa tahu aja bisa berguna di kemudian hari, ada beberapa yang rusak tapi masih bisa dipakai saya berikan kepada keluarga," ujarnya.
Menurut makalah berjudul Kebijakan Pengelolaan Limbah Elektronik dalam Lingkungan Global dan Lokal tulisan Sri Wahyono di Jurnal Teknologi Lingkungandi laman e-jurnal Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), jumlah limbah elektronik meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan perubahan gaya hidup. Dalam makalahnya, Sri Wahyono dari Pusat Teknologi Lingkungan BPPT menyebut limbah elektronik sebagai salah satu limbah yang laju timbulannya tercepat di dunia.
Menurut Konvensi Basel Annex VIII, limbah elektronik masuk dalam kategori bahan beracun dan berbahaya (B3). Umumnya limbah elektronik dikategorikan sebagai limbah B3 karena mengandung elemen seperti merkuri, timbal, kadmium, khromium, arsenik, dan polychlorinated biphenyls yang berbahaya bagi kesehatan manusia maupun lingkungan.
mMnurut makalah Sri Wahyono, logam berat yang terkandung dalam limbah elektronik bersifat racun, karsinogenik (menyebabkan kanker) dan mutagenik (menyebabkan cacat bawaan). Merkuri (Hg) misalnya, dikenal dalam menyebabkan kerusakan sistem syaraf otak dan cacat bawaan.
Namun, menurut makalah itu, limbah elektronik juga mengandung material bernilai seperti plastik, kaca, logam besi dan baja, logam mulia (emas, perak, platina dan tembaga), serta logam tanah langka seperti skandium, yttrium, serium, dan neomidium yang bisa diolah kembali.


































































































   2   3   4   5   6