Page 162 - JALUR REMPAH
P. 162

148 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI


               dan mereka meminta untuk menjadi alat tukar dengan pala dan fuli.

                   Setelah seringkali  pedagang Jawa  singgah di kepulauan Banda, mereka
               membutuhkan hubungan perkawinan sementara dengan perempuan setempat.
               Pola perkawinan sementara antara pedagang Jawa dengan perempuan lokal
               digambarkan oleh Van Naeck pada awal abad ke-17:

                   “Jika orang asing dari negeri lain tiba di sana dan bertanya apakah mereka
                   menginginkan  seorang  wanita,  wanita-wanita  dan  gadis-gadis  muda  itu
                   sendiri juga menunjukkan dirinya, dan pedagang asing dapat memilih yang
                   paling berkenan dihatinya, asalkan mereka setuju dengan harga yang harus
                   dibayarkan, hingga jumlah bulan tertentu. Begitu mereka setuju dengan
                   bayaran tersebut (yang sesungguhnya tidak seberapa dibandingkan dengan
                   kenikmatan yang diperoleh darinya), si wanita pun datang ke rumahnya,
                   dan melayaninya siang hari sebagai pelayan, dan malam hari sebagai istri.
                   Sejak itu dia tidak boleh bermain dengan perempuan lain, sebab jika itu
                   terjadi dia akan mendapatkan kesulitan besar dengan istrinya, sedangkan si
                   wanita pun sama saja, sepenuhnya tidak boleh bermain dengan lelaki lain,
                   tetapi perkawinan itu berlangsung selama si pedagang tinggal di sana, secara
                   damai dan rukun. Jika si pedagang akan pergi, dia memberikan apa saja yang
                   telah dijanjikannya, dan begitulah mereka saling berpisah sebagai dua orang
                   sahabat, dan si wanita itu lalu dapat mencari pria mana pun yang disukainya,
                   dengan tetap terhormat, tanpa skandal”.
                                                      22
                   Pola relasi perempuan dan pria itu merupakan ritus perkawinan resmi
               dilakukan untuk hubungan yang sifatnya sementara ini, atas mana kedua
               belah pihak terikat secara hukum. Apabila suaminya mempunyai barang untuk
               dijual, dia membangun tempat jualan, dia menjualnya secara eceran, dengan
               keuntungan yang jauh lebih baik dibandingkan kalau dijual secara borongan.

                   Pada  abad  ke-15  semakin  ramainya  perdagangan  di  kepulauan  Banda,
               karena Banda menjadi pelabuhan perantara untuk rempah-rempah jenis pala
               dan fuli. Orang kaya di Banda membutuhkan kepala pelabuhan yang mengatur
               para pedagangan asing yang singgah di  pelabuhan. Misalkan, menyediakan
               tempat parkir kapal-kapal jung baik dari Jawa maupun negeri-negeri lain.

                   Kemudian, syahbandar juga menyusun persediaan tempat tinggal, dan
               menyediakan  pula  tempat  berjualan  bagi  pedagang  asing.  Di  samping  itu,


                   22  Pola perkawinan sementara antara pedagang Jawa dan perempuan lokal berlaku pula untuk
               pedagang asing di Asia Tenggara seperti di Pegu, Filipina dan Thailand pada abad ke-15 dan ke-16. Cerita
               di atas dikutip dari Reid. Op.cit. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga…Jilid 1, hlm. 178.
   157   158   159   160   161   162   163   164   165   166   167