Page 55 - BUKU KENANGAN PSI 71 (FINAL)_Neat
P. 55
Ngga ada lu ga rame
(Pak Kardi, orang tua Sari murid TK-B, penjual air bersih keliling)
Suaranya terdengar tegas telah meyakinkan saya bahwa pak Kardi
bersungguh-sungguh mengatakan dan menyatakan pendapatnya tentang
kemajuan pendidikan anaknya. Bagi saya, suara itu telah menggetarkan hati.
Tidak pernah terpikir bahwa orang tua yang hidup sederhana di lingkungan
kumuh bawah jalan tol di daerah Penjaringan, menunjukkan kebanggaan
terhadap sekolah Taman Kanak-Kanak yang beratapkan dinding beton jalan tol
ini. Rupanya sekolah ini memang mereka butuhkan. Bagi pak Kardi, sekolah
telah memberikan rasa percaya diri dalam keluarga besarnya yang nampaknya
lebih beruntung darinya.
Dimulai di 2001 paruh ketiga, aku dibantu 9 temanku memulai
perjuangan “babat-alas” untuk mendirikan sebuah sekolah gratis di kolong jalan
tol di daerah Penjaringan Jakarta Utara. Kami memasuki area yang sama sekali
baru. Kumuh, sampah dimana-mana, tidak ada air bersih. Tempat buang air
ditutup papan triplek seadanya tanpa sistem pembuangan yang memenuhi
syarat. Area kolong dihuni 200 keluarga dengan berbagai perangai. Mulai dari
ibu-ibu buruh cuci, pengupas bawang, sampai kelompok pencuri, garong,
pelacur, waria, LGBT, dan berbagai perkeliruan lainnya.
Rasa curiga terhadap pendatang sangat terasa. Kehadiran sekolah dianggap
suruhan Pemda untuk memudahkan penggusuran di daerah itu. Ajakan guru
agar anak-anak bersekolah, dianggap mengganggu penghasilan karena orang
tua mengharuskan anak-anaknya turun ke jalan untuk jadi pengemis. Sekolah
kerap diganggu. Hampir setiap minggu ada saja barang yang hilang walau pintu
sekolah digembok.
Kami mulai dengan pengobatan gratis untuk anak-anak yang mau
bersekolah dan juga untuk orang tua mereka. Dilanjutkan dengan pengobatan
gratis untuk semua warga. Saat Iedul Adha, diadakan pemotongan hewan
Kurban. Awalnya untuk 200 keluarga. Hanya selang 2 tahun, jumlah warga di
sana meningkat mencapai 600 KK. Kebayang bentuk rumah tinggal mereka.
Saling berhimpit dengan sirkulasi udara tidak sehat.
Situasi berbalik mendukung sekolah ketika terjadi kebakaran besar di
kolong tol Jembatan Tiga, 3 kilometer dari lokasi sekolah. Saat itu terhembus isu
santer bahwa semua area kolong harus bersih dari hunian. Namun para orang
tua yakin bahwa hunian di area sekolah tidak akan digusur, karena ada sekolah.
Rupanya sekolah menjadi tempat berlindung yang aman bagi mereka dari
penggusuran. Walau akhirnya penggusuran terjadi tetapi terjadinya lebih lama
dibanding kawasan lain. Sekolah pindah ke sisi jalan tol sampai sekarang.
Satu kejutan Iagi terjadi saat sejumlah ibu orang tua murid meminta
dipertemukan dengan saya. Mereka menyatakan anaknya bukan anak jalanan.
Mereka minta nama sekolah diganti. Akhirnya sekolah berganti menjadi Sekolah
SAJA, singkatan dari Sekolah Anak Jalanan. Mereka puas. Kamipun puas melihat
perubahan mind-set ibu-ibu tersebut. Sekolah SAJA memasuki babak baru di
2008 itu.
HENDRO WIBISONO
50 Tahun Persahabatan PSI71 40

