Page 39 - Reforma Agraria Tanah Ulayat
P. 39
Dalam perkembangan politik hukum agraria di Indonesia,
UUPA 1960 dengan tegas menghapus berlakunya domeinverklaring
karena dianggap bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat
Indonesia. Sayangnya, hingga saat ini belum ada aturan baru
yang secara tegas mencabut berlakunya PP Nomor 8 Tahun 1953,
sehingga pemahaman dan praktik tanah negara dengan wajah
domeinverklaring masih sering terjadi dan masih eksis hingga
kini.
Dengan masih eksisnya jiwa domeinverklaring dalam konsep
tanah negara, maka tak heran jika istilah “tanah negara” cenderung
menjadi suatu label yang dalam politik penguasaan tanah atau
lahan di Indonesia sering dijadikan alat untuk mengeksklusi
masyarakat adat sekitar dari sumber kekayaan agraria. Praktiknya,
alat ini cukup ampuh menyingkirkan masyarakat adat yang
sesungguhnya jauh sebelum Indonesia merdeka telah mendiami,
memanfaatkan, bahkan bergantung pada hasil agraria tersebut;
baik hasil hutan, tanah, ataupun air. Bukan hanya bergantung
dalam arti guna memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga dalam
arti sebagai identitas sosial budaya.
Hal yang lebih menyakitkan bagi masyarakat tempatan–
petani dan masyarakat adat–ialah bilamana sumber daya agraria
yang telah dicaplok secara sepihak oleh negara sebagai miliknya
kemudian diserahkan hak akses kepada perusahaan tanpa
melibatkan mereka, di luar pengetahuan mereka. Menyebabkan
berbagai tindakan pencaplokan dan pelabelan yang dilakukan
oleh negara tak ubahnya sekadar pencadangan sumber daya
untuk kepentingan diserahkan pada orang atau kelompok
tertentu–khususnya perusahaan. 5
5 Nancy Lee Peluso, Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java,
University of California Press, London, 1992, hlm. 12-14.
4 Reforma Agraria Tanah Ulayat