Page 13 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 23 APRIL 2020
P. 13
Rabu (22/4), Presiden Jokowi menerima beberapa pimpinan serikat buruh. Mereka yang
hadir diantaranya dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dari
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia
(KSBSI).
Andi Gani Nena Wea, Presiden KSPSI, meminta Presiden Jokowi melibatkan buruh secara
aktif dalam pembahasan RUU. "Presiden sudah mendengarkan masukan kami. Tinggal
menunggu keputusan yang akan diambil," terangnya usai bertemu dengan Presiden Jokowi,
Rabu (22/4).
Selain Andi Nena Wea, Elly Rosita Silaban, Presiden KSBSI, dan Said Iqbal, Presiden KSPI
juga hadir dalam pertemuan tersebut.
Penolakan RUU Cipta Kerja juga diangkat dalam aksi pada 1 Mei 2020. Maka dari itu,
sebelum melancarkan aksi turun ke jalan, buruh menunggu keputusan pemerintah untuk
melibatkan serikat buruh dalam pembahasan RUU agar tidak merugikan buruh.
Dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada 30 Maret 2020, RUU Cipta Kerja berada
dijalur paling cepat untuk segera dibahas.
Percepatan pembahasan ini bertujuan untuk mendukung pemerintah dalam melakukan
pemulihan (recovery) pasca menghadapi dampak meluasnya wabah Covid-19 di Indonesia.
Selain buruh, penolakan terhadap RUU Cipta Kerja juga datang dari 92 akademisi dari
berbagai perguruan tinggi di seluruh Tanah Air.
Para akademisi ini menggalang petisi secara online sejak Maret 2020 hingga April 2020.
Petisi ini ditandatangani 92 orang akademisi. Dari jumlah itu ada tiga orang profesor yang
dua di antaranya adalah guru besar, 30 doktor, 57 magister dan dua sarjana.
Petisi itu telah diumumkan ke publik. Salah satu profesor yang menolak, yakni Susi Dwi
Harijanti, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.
Menurut Susi, proses pembentukan RUU Cipta Kerja telah melanggar asas keterbukaan
karena dilakukan secara tidak transparan dan minim partisipasi publik.
Bahkan, selama proses penyusunan RUU, pemerintah tidak pernah terbuka dan terkesan
sembunyi-sembunyi. Publik baru dapat mengaksesnya setelah RUU tersebut selesai menjadi
RUU dan oleh pemerintah diserahkan kepada DPR.
"Hal ini tentu melanggar asas keterbukaan yang tercantum dalam Undang-Undang,"
tandasnya.
Page 12 of 273.