Page 17 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 24 JUNI 2019
P. 17
Ketika sampai di sana ia sempat mampir ke suatu apartemen. Di lokasi itu ada tiga
perempuan asal Indonesia yang juga dinikahkan. Monika mengatakan apartemen itu
milik bos agen yang menjalankan perkawinan pesanan.
Selama di China, Monika tinggal bersama suami dan mertuanya, ia tidak tahu di
daerah mana karena tidak diberi tahu. Monika diminta mertuanya merangkai bunga
selama 12 jam tanpa henti. Bila melawan atau menolak bekerja sama Monika akan
mendapat hukuman.
"Saya pernah ditelanjangi mertua karena tidak mau melayani suami dengan alasan
haid, dia tidak percaya. Saya juga pernah tidur di luar tanpa selimut dan bantal saat
musim dingin. Suami saya diam saja," ucap Monika.
Selain itu, Monika juga pernah tidak diberi makan selama dua sampai tiga hari
karena melawan mertua. Ia juga beberapa kali menerima kekerasan fisik dari
suaminya sampai akhirnya Monika melarikan diri ke kantor polisi di Provinsi Hebei
dan menelpon ke KBRI untuk meminta pertolongan.
Salah satu sindikat perdagangan orang yang dibekuk oleh polisi, 2017. ( CNN
Indonesia/Adhi Wicaksono) Kepolisian membantu Monika sampai ia berhasil
mendapat paspor yang sebelumnya tak diberikan suami. Namun setelah itu ia
tertahan di rumah ipar sehingga melarikan diri dan berhasil terbang ke Indonesia
setelah melewati beberapa proses yang tidak mudah.
"Awalnya saya kabur karena bapak saya sekarat di rumah sakit, saya pakai wi-fi
waktu itu. Tapi setelah sampai sini bapak saya sudah meninggal," kata Monika.
Korban Lainnya Dari kasus ini Jaringan Buruh Migran mendata ada 13 perempuan
asal Kabupaten Sangau, Kalimantan Barat dan 16 perempuan asal Jawa Barat yang
menjadi korban dugaan TPPO. Dua diantara 29 perempuan sudah berhasil
dipulangkan, salah satunya adalah Monika.
Boby mendapat informasi bahwa fenomena laki-laki China menikahi perempuan asal
negara lain berawal dari peraturan pemerintah tahun 1973. Menurutnya saat itu
pemerintah membatasi satu keluarga hanya boleh memiliki dua orang anak.
"Di sana lebih ingin punya anak laki, kalau perempuan boleh digugurkan, jadinya
krisis perempuan dan kalau menikah dengan orang sana biayanya bisa sampai Rp 2
miliar. Kalau dengan pengantin perempuan di Indonesia mereka biasanya diminta
menyiapkan Rp 400 juta," kata Boby.
Jaringan Buruh Migran sudah melaporkan 27 korban kepada Kementerian Luar
Negeri. Menurut Boby Kementerian Luar Negeri tak bisa berbuat apa-apa karena
China menganggap 27 perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga sudah
menikah, bukan korban TPPO.
(adp/fea).
Page 16 of 352.