Page 144 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 24 JULI 2020
P. 144
cukup panjang? Dikutip dari MediaIndonesia.com, omnibus law didefenisikan sebagai produk
hukum yang disusun dengan cara mencabut atau mengamandemen beberapa undang undang
sekaligus. Secara materil, landasan filosofis dari RUU omnibus law sendiri memiliki tujuan yang
baik yakni menyelaraskan berbagai aturan yang inkonsisten, menyederhanakan regulasi,
mempermudah investasi, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi demi kesejahteraan rakyat.
Omnibus law sudah lazim dilakukan di Amerika Serikat untuk merancang undang-undang lintas
sektor. Pemerintahan Presiden Jokowi pada dasarnya bertujuan untuk menyederhanakan
beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda ke dalam satu dasar hukum khusunya
dalam undang-undang cipta kerja. Hasil kajian sementara menunjukkan bahwa sedikitnya akan
77 Undang-Undang yang sudah ada terdampak akibat penerapan omnibus law seperti dikutip
dari Kompas.com.
Perenapan omnibus law cipta kerja dapat dipandang sebagai salah satu upaya pemerintah untuk
meningkatkan daya saing global. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution yang
dikutip dari Bisnis.com menyebutkan bahwa pada tahun 2018 nilai ICOR ( Incremental Capital
Output Ratio ) Indonesia mencapai 6,3 lebih tinggi dari capaian Vietnam yang hanya 4,31.
Artinya diperlukan tambahan 6,3 unit input atau investasi dalam rangka menambah 1 unit output
yang diproduksi. Dengan kata lain biaya yang harus dikeluarkan atau dibayarkan oleh investor
untuk melakukan produksi 1 unit output yang sama di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan
negara-negara lainnya di ASEAN. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa penyebab
tingginya nilai ICOR diantaranya adalah suku bunga yang tinggi, biaya sewa lahan yang mahal,
pelayanan perizinan yang buruk, keterampilan SDM rendah, biaya logistik tinggi dan yang paling
penting terkait omnibus law adalah sejumlah regulasi daerah yang memberatkan dan berbelit-
belit. Penyederhanaan regulasi digencarkan sebagai pondasi sebelum transformasi ekonomi ke
arah yang lebih kompetitif di tingkat global.
Dalam situasi pandemi Covid-19, RUU Omnibus Law dinilai sebagai salah satu pendongkrak
perekonomian untuk keluar dari jebakan jurang resesi akibat Covid-19. Country Director Bank
Dunia di Indonesia mendukung bahwa dalam rangka pemulihan perekonomian nasional langkah
pertama yang harus dilakukan untuk mengundang investor adalah mengurangi hambatan
mereka dalam berinvestasi. Kepastian payung hukum yang mudah dan jelas menjadi langkah
awal yang disinyalir mampu meningkatkan minat investor untuk menanam modal di Indonesia.
Dengan kata lain omnibus law RUU Cipta Kerja diharapkan mampu mengundang investor untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Optimisme ini nampaknya sedikit kontradiktif jika
diharapkan langsung terjadi pada masa pandemi mengingat hampir seluruh negara di dunia
sedang mengalami kontraksi ekonomi. Pilihan tersebut akan relevan dalam situasi normal
sebelum pandemi atau setelah nanti pada saat stabilitas perekonomian global pulih kembali.
Selain itu di masa genting seperti saat ini keyakinan investor akan sangat dipengaruhi oleh
kecepatan pemulihan ekonomi. Semakin cepat perekonomian pulih maka semakin menggiurkan
prospek investasi dalam negeri.
Sejak diserahkan kepada DPR pada 12 Februari 2020, draf omnibus law dinilai memuat beberapa
pasal yang justru tidak berpihak kepada kalangan pekerja di RUU Cipta Kerja. Penggantian Upah
Minimum Kabupaten atau Kota (UMK) dengan Upah minimum Provinsi (UMP) diperkirakan akan
merugikan pekerja di kabupaten kota pusat perekonomian. Mereka biasanya menerima upah
yang jauh lebih besar dari UMP. Selanjutnya pemerintah juga memangkas besaran pesangon
yang wajib dibayar pengusaha jika melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 pesangon diberikan oleh pemberi kerja kepada pekerja
yang terkena PHK dengan besaran maksimal hingga 32 kali upah bulanan. Sementara dalam
RUU Cipta Kerja, pemberian pesangon maksimal sebesar sembilan kali upah bagi buruh yang
masa kerjanya 8 tahun atau lebih. Poin ini jelas semakin memicu persepsi ketidakberpihakan
kepada pekerja karena terkesan hanya mempertimbangkan dampak dari sisi pengusaha.
Omnibus law juga berpotensi membuat nasib pekerja outsourcing tidak memiliki kepastian
karena dibuka peluang untuk mengontrak pegawainya seumur hidup tanpa harus
143

