Page 162 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 9 JUNI 2020
P. 162
08. Empat kapal yang saling terkait itu berbendera China milik perusahaan Dalian Ocean Fishing
Co., Ltd.. Perlakuan dan kondisi kerja buruk di atas kapal diduga menjadi penyebab utama.
Keempat ABK yang meninggal dilaporkan sebelumnya mengalami sakit kritis.
Tiga ABK Indonesia, yang meninggal secara berturut-turut dan jasad ketiganya telah dilarung
di laut, berinisial MA, S dan A. Rangkaian kematian tiga ABK yang dilarung tersebut diperkirakan
terjadi dalam periode September 2019 sampai Februari 2020. Adapun 1 ABK terakhir lainnya
dengan inisial EP meninggal pada April 2020, setelah tiba dan sedang menjalani masa karantina
di salah satu hotel di Busan, Korea Selatan.
Sementara 14 ABK Indonesia lainnya yang masih berada di Busan, akan segera dipulangkan ke
Indonesia pada Jumat, 8 Mei 2020 Ilyas Pangestu, Ketua Umum Serikat Pekerja Perikanan
Indonesia (SPPI), menyatakan bahwa rangkaian kasus hilangnya nyawa ABK Indonesia tersebut
menjadi indikasi kuat bahwa ada kondisi kerja sangat buruk dan eksploitatif yang dialami oleh
para ABK.
"Kami menduga perusahaan pemilik kapal sangat lalai dalam memastikan kondisi kerja yang
aman, sehat dan manusiawi di setiap kapalnya," ungkap Ilyas melalui keterangan resminya,
Kamis (7/5/2020).
"Kami juga sangat prihatin bahwa kasus serupa ini bukan kali pertama terjadi dan terus
berulang, sehingga keseriusan Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal
dalam menyelesaikan kasus-kasus seperti ini lagi-lagi dipertanyakan," tegas Ilyas lagi.
Hariyanto Suwarno, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), juga menyorot masih
amburadulnya kebijakan dan pengawasan tata kelola perekrutan ABK perikanan hingga saat ini
Kondisi itu menyebabkan setiap WNI yang ditempatkan dan bekerja di atas kapal ikan asing
sangat rentan dieksploitasi bahkan sering menjadi korban dari tindak pidana perdagangan
orang.
"Belum adanya aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah hingga saat ini terkait dengan
tata laksana perekrutan dan penempatan ABK sebagai turunan dari UU 18/2017 tentang
Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, semakin menambah kerentanan dan berlanjutnya
eksploitasi terhadap ABK Indonesia," jelas Hariyanto.
"Ketidakjelasan aturan di dalam negeri juga akan melemahkan posisi dan diplomasi Indonesia
di tingkat internasional, apalagi jika sejumlah instrumen internasional kunci seperti Konvensi
ILO 188 belum diratifikasi," timpal Hariyanto.
Sementara itu, Nurrohman, aktivis dari Pergerakan Pelaut Indonesia (PPI), menambahkan
bahwa Pemerintah Indonesia perlu turut memastikan hak-hak ABK Indonesia dan keluarganya
yang menjadi korban eksploitasi harus segera dipenuhi.
"Pemerintah harus memastikan perannya tidak hanya berhenti sampai pada proses
pemulangan, tetapi juga hingga seluruh hak-hak ABK dan keluarganya seperti gaji dan santunan
asuransi terpenuhi," desak Nurrahman.
Jurukampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara, Arifsyah Nasution, mengatakan sudah
sepatutnya diplomasi dan investigasi proaktif secara internasional dilakukan terhadap kasus
yang menimpa 18 ABK Indonesia ini serta kasus-kasus lainnya yang menimpa ABK Indonesia
agar peristiwa serupa di masa mendatang tidak berulang.
"Pemerintah Indonesia harus mendesak negara bendera kapal, dalam hal ini China, untuk turut
bertanggung jawab mengungkap rangkaian dugaan praktik perikanan ilegal dan bentuk-bentuk
161