Page 113 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 10 DESEMBER 2020
P. 113
FAISAL BASRI SEBUT PEMERINTAH NGAWUR DIAGNOSIS LAPANGAN KERJA
Ekonom Senior Indef Faisal Basri menyebut pemerintah salah mendiagnosis kebutuhan lapangan
kerja, dengan menyediakan sektor padat karya yang digencarkan Presiden Joko Widodo
(Jokowi).
Lihatlah, berdasarkan data BPS per Agustus 2020, mayoritas pengangguran atau 13,6 persen
merupakan tamatan SMK. Disusul lulusan SMA sebanyak 9,9 persen. Kemudian, lulusan diploma
8,1 persen, dan lulusan universitas 7,4 persen.
Dari sisi demografi, mayoritas pengangguran berusia 15-24 tahun. Artinya, Faisal menyimpulkan
pengangguran di Indonesia mayoritas berpendidikan tinggi relatif tinggi dan berusia muda.
"Maukah adik-adik tamatan universitas, SMA, SMK, dan diploma ini jadi pekerja di industri padat
karya? Misalnya, tukang jahit di industri garmen, kan tidak. Jadi, diagnosis pemerintah ini ngawur
melulu," jelasnya dalam dalam diskusi daring Memperjuangkan Hak Buruh dalam Implementasi
UU Cipta Kerja: Strategi dan Tantangan di Era Globalisasi, Selasa (8/12).
Sementara, pengangguran yang pendidikan SD ke bawah, justru paling sedikit, yaitu 3,6 persen.
Menurut dia, pengangguran dengan latar pendidikan SD ke bawah ini justru lebih mudah
mendapatkan pekerjaan.
"Jadi, masalah pengangguran di Indonesia ini menciptakan lapangan kerja bukan untuk tamatan
SD. Yang tamatan SD itu, cari kerja sendiri serampangan dia lakukan," ucapnya.
Masalah Pertumbuhan Ekonomi Menurut Faisal, permasalahan utama di Indonesia adalah
pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan tren menurun. Ia menuturkan rata-rata pertumbuhan
ekonomi di era pemerintahan Jokowi sebesar 5 persen, lebih rendah dari era sebelumnya di
angka 7 persen dan 6 persen.
Ia menilai perlambatan pertumbuhan ekonomi ini dipicu oleh mesin penggerak pertumbuhan
ekonomi yang mengandalkan faktor produksi, modal, dan tenaga kerja.
"Kita bangun ekonomi ini cuma mengandalkan pada faktor produksi, modal, dan tenaga kerja,
sehingga terjadi perlambatan. Jadi, setiap tambahan pekerja dan tambahan modal menghasilkan
pertumbuhan yang lebih rendah, di bawah proporsi tambahan modal dan tenaga kerjanya,"
terang Faisal.
Selain itu, faktor inovasi yang melibatkan teknologi dan R&D juga kurang dikembangkan di
Indonesia.
Kondisi ini tercermin dari rendahnya produktivitas pekerja karena tidak dibekali dengan
keterampilan dan penguasaan teknologi mumpuni.
"Tapi bukan salah pekerja, karena pekerja tidak dilengkapi dengan teknologi, karena di kita
inovasi, R&D rendah jadi kita bergantung pada input tenaga kerja, buruh, dan segala macam,"
tandasnya.
112