Page 57 - MAJALAH 203
P. 57
SOR O T AN
bagaimana peran dari BUMN untuk
bisa mempengaruhi, menjadi press
maker untuk harga yg bisa lebih bisa
terjangkau," imbuhnya.
Senada, Anggota Komisi VI DPR
RI Andre Rosiade juga menekankan
kepada perusahaan pelat merah yang
berkecimpung di bidang kesehatan
agar tetap terus berpihak kepada
rakyat, di samping memang harus
tetap memberikan keuntungan
kepada negara. “BUMN itu memang
diperintahkan oleh Kementerian BUMN
sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2003 memberikan keuntungan, tapi juga
ada tugas membantu negara,” ujarnya.
Menurut Andre, harga tes PCR di
Indonesia sebenarnya bisa berada
di bawah harga Rp200 ribu. Bahkan,
ia menambahkan, harga Rp200 ribu
tersebut, harusnya bisa diterapkan sejak
awal 2021, di saat harga tes PCR masih
berada di sekitar harga Rp900 ribu-an.
Murahnya harga tes PCR bisa
disebabkan oleh banyak faktor.
Misalnya saja, komponen harga kit
yang terkandung dalam tes PCR
diantaranya Viral Transport Medium
(VIT) dengan range harga sekitar Rp10
ribu, ekstraksi kit dengan harga sekitar
Rp25 ribu, hingga harga reagen yang
berkisar Rp65 ribu.
“Sebenarnya di bawah Rp200 ribu
masih untung. Struktur biayanya jelas,
kit itu hanya Rp100 ribu, mulai dari VTM,
ekstraksi kit dan PCR kit, itu hanya di
bawah Rp100 ribu. Ditambah nanti APD,
biaya nakes, biaya operasional lainnya,
ditambah keuntungan, saya rasa masih
bisa 170 sampai 180 ribu, masih untung
itu,” kilahnya.
Lebih lanjut, Andre menyoroti adanya
permainan laboratorium yang mematok
harga tes PCR berdasarkan kecepatan
keluarnya hasil tes. Sesuatu hal yang
seharusnya tidak perlu dilakukan
oleh sebuah labiratorium. “Permainan
laboratorium sebenarnya nggak perlu
pakai angka harga 1 jam, 3 jam, 6
jam. Karena mereka memutar mesin
yang sama, sebenarnya lucu juga
dibikin postur-postur biaya seperti itu,”
tegasnya. l bia/es
TH. 2019 EDISI 171 PARLEMENTARIA 57
TH. 2021 EDISI 203 PARLEMENTARIA 57