Page 24 - Bahan Ajar Ayang Marsnely
P. 24
TOKOH EKONOMI KREATIF
Hj. Wirda Hanim : BATIK TANAH LIEK PRODUK NAGARI TANAH
DATAR
Pada tahun 1993, ketika Hj. Wirda Hanim mulai
menghadiri acara adat di desanya, Kecamatan
Kenagarian Sumanik, Kabupaten Tanah Datar,
Provinsi Sumatera Barat, ia memutuskan
memperbanyak Batik Tanah Liek karena testil yang
digunakan Datuak dan Bundo Kanduang di sini
terlihat kusam. robek karena cuaca. Dan karena usia
kainnya. Ia mengetahui saat mencari informasi
bahwa batik Tanah Liek berhenti dibuat setelah 70
tahun.
Secara tegas Ibu Hj. Wirda Hanim, dimaksudkan
untuk pembaharuan kain. Meskipun dia tidak
memiliki pengetahuan tentang batik. Saat itu ia
bertemu dengan seorang guru batik di Institut Seni Rupa (SMSR) di Kota Padang, sekarang Politeknik
(SMK), yang secara pribadi mengunjungi sekolah dan rumahnya, berharap kerjasama.
Namun, guru hanya memberi tahu murid-muridnya. Meskipun demikian, Ibu Hj. Wirda Hanim tetap
membayar, sejak pembelian kain batik dan obat-obatan, namun hasil yang diperoleh siswa tersebut
tidak memuaskan. Akhirnya Ibu Hj Wirda Hanim mengakhiri kerjasama tersebut.
Ibunda Hj Wirda Hanim tidak putus asa.
Dia mencoba membuat ulang motif kain
lama di atas kertas. Tak hanya itu, ia juga
menggarap tema Rumah Gadang. Hal itu
ia lakukan selama kurang lebih 6 bulan.
“Menunggu solusi, saya mencari dan
meniru motif dari kain ikat lama Tanah
Liek di desa saya, motif lama itu adalah
kuda dan burung kolibri, saya juga
mengambil motif Minang dari ukiran dan
baju dan membuat motif baru dari motif
tersebut, yaitu sebagian kombinasi dari
motif-motif itu," katanya.
Pada saat ini, Dewan Kerajinan Nasional
Provinsi Sumbar menyelenggarakan satu
ton pelatihan membatik dengan peserta
20 orang, 10 orang dari Kabupaten Solok dan 10 orang dari Kabupaten Pesisir Selatan. Kota Padang
tidak termasuk karena sebagian besar orang Padang memiliki usaha bordir termasuk mereka sendiri
yang memiliki toko bordir “Monalisa”. Meski tidak ada peserta, Ibu Hj. Wirda Hanim ingin
berpartisipasi. Akhirnya dia mendapatkan uangnya. Namun, pendidikan yang diperoleh masih belum
memuaskan. Setelah meminta izin suaminya Ruslan Majid pada 1995, ia pergi ke Yogyakarta dan
meminjam 20 juta rupiah sebagai modal belajar membatik di sana. Hanya 2 hari kemudian dia
kembali ke Padang. Tidak hanya merasa tidak enak, dia juga tidak bisa meninggalkan bengkel
bordirnya, karena ada 20 pekerja yang tinggal di rumahnya. Ibu Hj, Wirda Hanim, meminta Dewan
Batik Yogyakarta untuk mengirim guru tenun ke Padang, yang dia daftarkan untuk 3 bulan.