Page 197 - a man called ove
P. 197

A Man Called Ove

            bawah sana. Dia mendengar kereta api datang. Ini tidak persis
            seperti yang direncanakannya, tapi apa boleh buat.

                Lalu dengan tenang, Ove berjalan ke tengah rel,
            memasukkan tangan ke saku, dan menatap lampu depan kereta
            api. Dia mendengar peluit peringatan berbunyi, suaranya
            seperti peluit kabut. Dia merasakan rel bergetar hebat di
            bawah kakinya, seakan seekor banteng bertenaga testosteron
            sedang mencoba menerjangnya. Ove mengembuskan napas.
            Di tengah kekacauan getaran, teriakan, dan jeritan mengerikan
            rem-rem kereta api, Ove merasakan kelegaan mendalam.
                Akhirnya.

                Bagi Ove, momen-momen berikutnya mulur seakan
            waktu itu sendiri telah menginjak rem dan membuat semua
            yang ada di sekeliling Ove bergerak dengan gerakan lambat.
            Ledakan suara-suara teredam menjadi desis pelan di telinga
            Ove, kereta api mendekat begitu lambat hingga tampak
            seakan ditarik oleh dua lembu jompo. Lampu depan kereta
            api berkedip-kedip tanpa daya.
                Dan, dalam jeda di antara dua kedipan lampu, ketika Ove
            tidak sedang dibutakan oleh cahaya, dia mendapati dirinya
            melakukan kontak mata dengan masinis kereta api. Mustahil
            pemuda itu berusia lebih dari dua puluh tahun. Dia pasti
            salah seorang yang masih dipanggil “anak bawang” oleh
            kolega-koleganya yang lebih tua.
                Ove menatap wajah anak bawang itu. Mengepalkan
            tangan di dalam saku seakan sedang mengutuk dirinya sendiri
            atas apa yang hendak dilakukannya. Tapi apa boleh buat,





                                       192
   192   193   194   195   196   197   198   199   200   201   202