Page 122 - Maluku dan Luwu CMYK.indd
P. 122

ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI KAWASAN INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN LUWU



              melayari laut atau selat yang me misahkan antarpulau, atau lebih jauh lagi sampai
              ke Asia Selatan, Tiongkok, Asia Timur, bahkan Eropa? Sebuah gambar cat air yang
              dibuat oleh Alphonse Pellion yang berjudul Kora-kora from Gebe, North Moluccas,
              1818 menggambarkan sebuah perahu besar dengan 9–10 pendayung dan sebuah
              layar besar (Reid 2002). Perahu besar itu sangat layak untuk pelayaran jarak
              jauh dan digunakan sebagai pengangkut rempah-rempah, khususnya pala dan

              cengkih, ke pelabuhan entrepôt di Asia Tenggara. Gambar perahu itu dibuat di
              Eropa, bukan di Asia Tenggara khususnya Nusantara.

                 Pada abad ke-15, Maluku merupakan pusat perdagangan cengkih di bagian
              timur Nusantara, khususnya di Maluku Utara sebelah barat Pulau Halmahera.
              Beberapa kerajaan lain yang juga merupakan pusat perdagangan cengkih adalah
              Tidore, Bacan, dan Jailolo di Halmahera. Perdagangan cengkih pada masa itu
              (sekitar abad ke-15) berbarengan dengan penyebaran agama Islam yang dibawa
              oleh para  saudagar  dan mubalig.  Pada  saat itu cengkih merupakan  komoditi
              perdagangan  yang  banyak dicari saudagar  dari berbagai  daerah  dan bangsa.

              Untuk menghindari persaingan perdagangan, para raja dan penguasa di Maluku
              membangun prinsip kekeluargaan.

                 Menurut Hikayat Ternate yang ditulis oleh Naidah (van der Crab 1878), pada
              abad ke-19 disebutkan prinsip-prinsip kerukunan keluarga dalam perdagangan
              cengkih.  Sudah  sewajarnya bila  dibangun  kerukunan  keluarga  karena  pada
              dasarnya para raja dan penguasa dari empat kerajaan itu masih keturunan dari
              seorang ulama  dari Timur Tengah  yang bernama Ja’far as-Sadik  (Imam Syi’ah
              ke-6 pada 699–765). Dalam  mitos, ulama  itu disebutkan  berkawin  dengan
              seorang bidadari setempat yang bernama Nur Sifa. Dari perkawinannya itu, ia

              menurunkan raja-raja Maluku (Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo). Kerukunan di
              antara keempat kerajaan itu segera berubah ketika bangsa Portugis dan Spanyol
              datang pada sekitar awal abad ke-16.

                 Bermula  dari  persaingan  dagang  di  antara  kedua  bangsa  asing tersebut,
              mereka memanfaatkan para kolano di Maluku. Pada 1512, Ternate bekerja sama
              dengan Portugis dalam  meningkatkan  volume  perdagangan cengkih. Pada
              1522, Sultan Ternate mengizinkan Portugis membangun benteng di Gamlamo
              (Gamalama) yang terletak di sebelah timur Pulau Ternate. Sementara itu, Tidore





                                              106
   117   118   119   120   121   122   123   124   125   126   127