Page 249 - 100 Tokoh
P. 249
tanan Yogyakarta. Malah, ia pernah disuruh meng
amat-amati aktivitas Sentot Alibasjah (pengikut Pa
ngeran Diponegoro) yang dibuang di Bengkulu.
Takdir sudah menulis sejak berusia 17 tahun.
Ketika masih tinggal di Muaraenim, ia mengarang
Surat-surat Tani dalam bahasa Belanda. Sempat ber
kecimpung di dalam dunia pendidikan, Takdir akhir
nya memilih terjun di dunia tulis-menulis.
Bermula dari karir sebagai pegawai bagian pe
nerbitan buku Pandji Poestaka, Takdir mulai menulis
novel dan roman. Mulai Tak Putus Dirundung Malang
(1929), Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), Layar
Terkembang (1937), Anak Perawan di Sarang Penyamun
(1941), Tebaran Mega (1955), Grotta Azzurra (1970),
Kalah dan Menang (1980), hingga Perempuan di Per
simpangan Zaman.
Ketika Adinegoro, redaktur Pandji Poestaka, pin
dah ke Medan, posisinya digantikan Takdir. Saat itu
ia mulai merintis Gerakan Sastra Baroe (1933) de
ngan melibatkan para intelektual zaman itu, seperti
Armijn Pane dan Amir Hamzah. Sekitar 20 orang
intelektual Indonesia menjadi inti gerakan Poedjang
ga Baroe, di antaranya Prof. Husein Djajaningrat,
Maria Ulfah Santoso, Mr. Sumanang, dan Poerwa
darminta. Poedjangga Baroe diterbitkan pertama kali
oleh percetakan Kolf milik A. Dahleer, seorang berke
bangsaan Belanda.
Perjalanan Takdir dalam dunia sastra menghasil
kan suatu kesimpulan yang akan terus menjadi visi
perjuangannya. Baginya, sastra yang bertanggung
jawab adalah yang bisa menjadi kebangkitan dunia
baru. Tidak eksklusif dalam individualisme atau se
232