Page 116 - Persoalan Agraria Kontemporer: Teknologi, Pemetaan, Penilaian Tanah, dan Konflik
P. 116

Keberagaman  istilah  dan  defenisi  yang  merujuk  pada  kategori
             “masyarakat  adat”  yang  bermula  dari  istilah  bumi  putera,  masyarakat  asli,
             masyarakat adat, masyarakat hukum adat, kesatuan masyarakat hukum adat,
             masyarakat  suku  terasing,  komunitas  adat  terpencil,  dan  masyarakat
             tradisional.  Berbagai  macam  istilah  yang  berkonsekuensi  pada  perbedaan
             unsur-unsur keberadaan masyarakat adat menunjukkan belum adanya suatu
                                                       4
             kesepahaman tentang definisi masyarakat adat.
                     Ketidakseragaman  tentang  konsepsi  masyarakat  hukum  adat,  serta
             adanya syarat/ciri masyarakat hukum adat, seperti “sepanjang kenyataannya
             masih  ada”,  “diakui  keberadaannya”,  dan  “tidak  bertentangan  dengan
             kepentingan  nasional”.  Hal  tersebut  menyebabkan  potensi  multi  tafsir  dan
             menjadi  sumber  terjadinya  konflik  norma  antara  masyarakat  hukum  adat
             dengan  negara  dalam  konteks  pengakuan  dan  penghormatan  terhadap
             masyarakat hukum adat.
                     Masalah lainnya tentang keberadaan masyarakat hukum adat adalah
             pengakuan  dari  pemerintah  daerah  yang  menjadi  masalah  penting  bagi
             masyarakat  hukum  adat,  dengan  menggunakan  perangkat  hukum  dalam
                                                   5
             bentuk  keputusan  atau  peraturan  daerah.   Pengakuan  masih  dalam  bentuk
             bersyarat  berdasarkan  Pasal  3  Permen  ATR/BPN  Nomor  5  Tahun  1999
             meliputi: a) masyarakat masih dalam bentuk paguyuban; b) ada kelembagaan
             dalam perangkat penguasa adatnya; c) ada wilayah hukum adat yang jelas; d)
             ada pranata dan perangkat hukum yang masih ditaati. Dalam Pasal 18B ayat
             (2) UUD 1945 pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat
             hukum  adat  beserta  hak-hak  tradisionalnya  harus  didasarkan  pada  syarat-
             syarat,  yaitu  (i)  sepanjang  masih  hidup;  (ii)  sesuai  dengan  perkembangan
             masyarakat  dan  prinsip  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia;  (iii)  diatur
             dalam undang-undang.
                     Pengakuan  bersyarat  ini  membuat  posisi  masyarakat  hukum  adat
             menjadi sulit, karena beban pembuktian keberadaannya dibebankan kepada
             masyarakat  hukum  adat  yang  bersangkutan.  Misalnya  kesatuan  masyarakat
             hukum  adat  harus  membuktikan  diri  sebagai  kesatuan  masyarakat  hukum
             adat dalam perkara di Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud Pasal 51
             ayat  (1)  huruf  b  UU  MK,  juga  harus  memenuhi  5  (lima)  syarat  kerugian
             konstitusional  sebagaimana  ditentukan  Mahkamah  Konstitusi  dalam
             yurisprudensinya.  Oleh  karena  beratnya  syarat  kedudukan  hukum  (legal
             standing) bagi kesatuan masyarakat hukum adat, hingga saat ini belum ada
             pemohon  yang  mengaku  kesatuan  masyarakat  hukum  adat,  memiliki
             kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian undang-undang, karena






                4  Ibid, hlm. 3.
                5   Pasal  2  Peraturan  Menteri  Agraria/Kepala  Badan  Pertanahan  Nasional
             Nomor  5  Tahun  1999  tentang  Pedoman  Penyelesaian  Masalah  Hak  Ulayat
             Masyarakat Hukum Adat.

                                              107
   111   112   113   114   115   116   117   118   119   120   121