Page 86 - Persoalan Agraria Kontemporer: Teknologi, Pemetaan, Penilaian Tanah, dan Konflik
P. 86
biaya tenaga kerja sebesar 100 hari orang kerja x Rp. 25.000,- = Rp.
2.500.000,-. Kelima, sewa tanah sebesar 1 Ha x Rp. 2.850.000,- = Rp.
2.850.000,. Keenam, biaya pajak dan penyusutan peralatan sebesar Rp.
100.000,-. Ketujuh, total biaya sebesar Rp. 6.442.000,-. Kedelapan,
penerimaan kotor sebesar 1.700 kg x Rp. 6.500,- = Rp. 11.050.000,-.
Kesembilan, keuntungan sebesar Rp. 11.050.000,- - Rp. 6.442.000,- = Rp.
4.608.000,-.
Rendahnya selisih biaya dengan pendapatan semakin berat
dirasakan oleh petani, ketika mereka harus berhadapan dengan pasar
yang tidak ramah. Evi Yulia Purwanti dan Banatul Hayati (2008:57-58)
menjelaskan adanya dua sifat komoditi pertanian yang terkait dengan
kondisi pasar, yaitu: Pertama, sifat homogen, yang mengakibatkan
konsumen tidak bisa mengindikasi sumber-sumber penawaran yang
disubstitusi secara sempurna oleh produsen lainnya. Kedua, sifat
massal, yang mengakibatkan jumlah komoditi pertanian yang dihasilkan
seorang produsen dianggap sangat kecil ketika dibandingkan dengan
jumlah komoditi total yang dipasarkan, sehingga produsen pertanian
secara individual tidak dapat mempengaruhi harga yang berlaku di
pasar, dan hanya menjadi penerima harga (price taker).
Untuk memperjelas besarnya dominasi pedagang terhadap
petani, Evi Yulia Purwanti dan Banatul Hayati (2008:64)
mengungkapkan, bahwa bila dalam satu tahun para petani hanya
menanam padi dua kali dan kedelai satu kali, maka rata-rata jual beli
kedelai dalam satu musim berdasarkan tingkat pedagang di lingkup
kabupaten adalah sebagai berikut: Pertama, pengecer rata-rata
mengelola jual beli kedelai dalam satu musim sebanyak 4 (empat) ton
dengan nilai Rp. 24 juta. Kedua, pengepul atau pedagang lokal rata-rata
mengelola jual beli kedelai dalam satu musim sebanyak 22,60 ton
dengan nilai Rp. 140,10 juta. Ketiga, pedagang besar rata-rata mengelola
jual beli kedelai dalam satu musim sebanyak 404 ton dengan nilai Rp.
2,60 miliar.
Oleh sebab itu, untuk memperbaiki posisi tawar petani Evi Yulia
Purwanti dan Banatul Hayati (2008:60-61) menawarkan beberapa cara,
sebagai berikut: Pertama, menggantikan peran pedagang dengan
lembaga lain, seperti koperasi. Upaya ini akan berjalan baik, bila
koperasi lebih mementingkan peningkatan pendapatan para petani
dibandingkan dengan misi profit oriented dari koperasi tersebut; Kedua,
para petani membentuk koperasi, sebagai bagian dari kelompok tani
yang telah mereka bentuk; Ketiga, mengurangi kekuasaan pedagang
dengan cara menyertakan koperasi sebagai pesaing pedagang, sehingga
terbentuk persaingan murni dalam mekanisme pasar di tingkat petani.
Saran Evi Yulia Purwanti dan Banatul Hayati bagi peningkatan
posisi tawar petani, merupakan saran yang bila dilaksanakan dapat
dikategorikan sebagai kegiatan yang berada di ranah pemberdayaan
petani (masyarakat). Saran yang pada intinya berupa pembentukan
koperasi petani dan kiprahnya untuk berhadapan dengan pasar, perlu
77