Page 165 - Beberapa Pemikiran Tentang Status tanah dan Dinamikanya
P. 165
kejelihan para Hakim Di Mahkamah Konstitusi yang melihat tidak
hanya saja dengan pemikiran yang jernih, akan tetapi juga dirasakan
dengan melibatkan hati nurani, maka ketentuan dimaksud akhirnya
telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kemudian jika kita menengok sejarah pada masa Orde Baru ,
88
tatanan pelaksanaan pembangunan, tanah mengalami pergeseran
nilai, yaitu dari tanah yang dikelola bersama, di mana tanah tidak
lagi semata-mata bernilai uang menjadi asset komoditi yang bisa
diperdagangkan, yang memiliki nilai ekonomis, dan objek spekulasi
bagi orang yang mempunyai uang banyak. Tanah yang memiliki
karakter sosial telah dirubah menjadi masuk dalam skema pasar tanah.
Kondisi tersebut mengakibatkan hak-hak rakyat atas tanah terpangkas
untuk kepentingan investor sehingga membuahkan kemiskinan dan
rakyat termarjinalkan.
Hal yang sama pula terjadi dengan dibatalkannya UU BHP oleh
Mahkamah Konstitusi. Di sini Majelis Hakim yang memeriksa dan
mengadili UU BHP telah mencari dan menempuh jalan baru (rule
breaking) sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo. 89
88 Ada beberapa alas an mengapa Orde Baru semakin menjauh dari UUPA, yaitu:
Pertama, pada awal Orba ada consensus di antara pendukungnya tentang
perlunya stabilitasi, rehabilitasi dan pembangunan ekonomi gaya kapitalis;
Kedua, Angkatan darat menganggap bahwa Landreform yang disponsori
golongan kiri apada awal 1960-an dapat mengancam pengendaliannya atas
beberapa perkebunan milik Negara; Ketiga, dilihat dari segi ekonomi, strategi
radikal tersebut tidak menguntungkan. (Endang Suhendar dan Ifdal Kasim,
(1996), Tanah Sebagai Komoditas, Kajian Kritis Atas Kebijakan Pertanahan
Orba, Jakarta, ELSAM: 33.).
89 Rule Breaking, yaitu Pertama, mempergunakan kecerdasan spiritual untuk
bangun dari keterpurukan hukum memberikan pesan peting bagi kita untuk
berani mencari jalan baru (rule breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang
oleh cara lama, menjalankan hukum yang lama dan tradisional yang jelas-jelas
lebih banyak melukai rasa keadilan. Kedua, pencarian makna lebih dalam
hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara
hukum. Masing-masing fihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum
didorong untuk selalu bertanya kepada hati nurani tentang makna hukum yang
lebih dalam; Ketiga,. Hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika
saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian dan keterlibatan (compassion) kepada
kelompok yang lemah. Satjipto Rahardjo dalam Yusriyadi, (2006), Paradgma
Sosiologis Dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Ilmu Hukum Dan
Penegakan Hukum (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Bidang Sosiologi
hukum FH Universitas Diponegoro, Semarang, 18 Pebruari 2006): 33).
150