Page 78 - Pemikiran Agraria Bulaksumur, Telaah Awal Atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun dan Mubyarto
P. 78

Membaca Ulang Sartono Kartodirdjo
                 tahun 1776, di daerah pantai utara Jawa bagian timur ter-
                 dapat 1134 desa yang disewakan VOC kepada orang asing
                 (Cina). Di daerah yang sama, pada tahun 1803, disebutkan
                 bahwa dari 16.083 desa terdapat 1146 (96%) yang disewakan
                 kepada orang-orang partikelir, terutama kepada orang Cina.
                 Selain beras, daerah pedesaan yang disewakan itu meng-
                 hasilkan produksi gula, garam, nila, lada dan lainnya. Desa
                 persewaan juga banyak yang digunakan untuk kepentingan
                 usaha penanaman dan penggilingan tebu. Penanaman dan
                 usaha penggilingan tebu itu banyak dijumpai di daerah desa
                 persewaan, misalnya, di daerah Jepara, Juana, Cirebon, dan
                 sekitar Batavia. Usaha ini banyak dilakukan oleh orang
                 Cina. 47
                 Tanah partikelir nyaris menjadi negara dalam negara. Di
                 dalam sistem itu ada penduduk, aturan-aturan, penguasa,
                 bahkan kelembagaan desa di dalamnya. Ironis sekali, mes-
                 kipun sistem tanah partikelir telah dihapuskan pada awal
                 kemerdekaan, namun eksistensinya bermetamorfosa
                 menjadi sistem baru bernama “Kawasan Hutan” yang rezim
                 penguasaannya di bawah departemen kehutanan atau
                 Perhutani. Sistem ini memandang hutan sebagai ruang yang
                 mencakup di dalamnya masyarakat adat, bukan sebaliknya,
                 masyarakat adatlah yang sejak zaman dahulu memandang
                 hutan sebagai ruang hidup sekaligus sumber penghidupan
                 dalam mereka mencari pangan. Akibatnya, pengusiran
                 terhadap masyarakat terjadi. Tatkala kawasan itu dilakukan
                 eksploitasi (logging atau penambangan) maka bisa dilaku-
                 kan tukar guling dengan masyarakat adat atau sekaligus


                   47  Ibid., hlm 38-39

                                                                   59
   73   74   75   76   77   78   79   80   81   82   83